Wednesday, November 10, 2010

Darurat Presiden di Saat Normal

SUDAH dua kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkantor di Yogyakarta. Dua-duanya terjadi ketika Gunung Merapi meletus. Pertama pada 2006 dan kedua akhir pekan lalu. Presiden dan rombongan kembali ke Jakarta kemarin pagi.

Berkantor di Yogyakarta di saat bencana Merapi melanda adalah salah satu pilihan manajemen tanggap darurat oleh SBY. Tanggap darurat seperti ini ternyata membuka ruang perdebatan.

Banyak yang beranggapan kehadiran Presiden di Yogyakarta overdosis. Toh ada menteri, bupati, dan gubernur. Tanggap darurat dengan berkantor darurat di daerah bencana memberi kesan seakan-akan Presiden tidak percaya pada kemampuan manajerial seorang menteri, gubernur, dan bupati yang menjadi bawahannya.

Pilihan seperti ini membuka kecemburuan juga. Warga di Mentawai dan Wasior akan merasa Presiden pilih kasih. Lebih berbahaya lagi jika daerah yang sedang dilanda bencana kemudian hari ramai-ramai menuntut Presiden harus berkantor di daerahnya.

Berkantor di daerah bencana oleh seorang Presiden ternyata menimbulkan kerepotan besar yang tidak terhindarkan karena tuntutan protokoler yang tidak bisa dikompromikan, terutama pada aspek keselamatan. Selama berkantor di Yogyakarta sejak akhir pekan lalu, misalnya, Presiden harus berpindah-pindah tempat antara Yogyakarta dan Magelang lalu harus kembali melalui Semarang. Ini semua semata demi keselamatan Presiden.

Karena itu patutlah dipikirkan sebuah cara baru tanggap darurat oleh Presiden. Dua kali berkantor di Yogyakarta dalam tanggap darurat bencana Merapi telah menimbulkan pro dan kontra yang tidak habis-habisnya.

Cara baru itu adalah Presiden berkantor di sejumlah daerah tidak dalam situasi bencana, tetapi dalam keadaan normal. Cara ini harus dianggap sebagai tanggap darurat juga. Karena, bencana bagi Indonesia sesungguhnya tidak semata karena banjir, letusan gunung berapi, badai, dan topan.

Disfungsi dan disorientasi birokrasi daerah yang bermuara pada kemandulan pengelolaan pembangunan, termasuk korupsi, adalah bencana sesungguhnya. Karena itu Presiden harus memperlihatkan sense of crisis dengan cara berkantor secara bergiliran di semua ibu kota provinsi.

Dalam rangka melihat realitas pemerintahan daerah sesungguhnya, kapan dan di mana Presiden akan berkantor tidak perlu dijadwalkan. Presiden, misalnya, cukup memberi tahu gubernur bersangkutan seminggu menjelang kedatangannya.

Dengan cara itu, seluruh gubernur dan bupati akan siaga sepanjang tahun. Karena di saat yang tidak mereka duga Presiden akan berkantor di daerahnya. Gubernur dan kepala daerah akan berpikir seribu kali sebelum meninggalkan daerahnya.

Maka, tidak ada lagi keluhan daerah yang merasa dianaktirikan oleh seorang Presiden. Dalam tempo lima tahun seorang Presiden pasti bisa berkantor di 33 ibu kota provinsi.

Dengan demikian, ketika seorang Presiden menyanyi di hari terakhir ketika hendak kembali ke Jakarta, nyanyian itu terasa menghibur dan menggelorakan rindu. 

Source : Editorial MI (09 November 2010)

No comments:

Post a Comment