Sunday, November 28, 2010

Sterilkan KPU dari Parpol

SALAH satu tugas DPR adalah membuat undang-undang. Namun, dalam kenyataan, DPR juga gemar mengobrak-abrik aturan yang merintangi kepentingan mereka meski aturan tersebut baik dan benar.

Itulah yang kita saksikan dalam pembahasan RUU Penyelenggara Pemilu oleh DPR hari-hari ini. Tanpa malu-malu, sebagian besar fraksi bersikeras agar anggota partai politik dapat menjadi anggota Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU).

Padahal, partai politik merupakan peserta pemilu. Dia adalah pemain. Seharusnyalah partai politik tidak boleh merangkap sebagai wasit dan pengawas. Wasit dan pengawas harus berada di tangan yang netral dan yang tidak terlibat pertarungan.

UUD 1945 Pasal 22E angka (5) jelas-jelas menyebutkan bahwa pemilu diselenggarakan KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Jika parpol menjadi anggota KPU, sirnalah kemandirian KPU.

Sebenarnya UU No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu sudah pula memagari syahwat politik dan berahi kekuasaan para politikus. Pasal 11 huruf (i) menyebutkan anggota KPU adalah mereka yang tidak pernah menjadi anggota partai politik atau sekurang-kurangnya dalam waktu lima tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik.

Tidak hanya itu. Pada huruf (m) pasal itu juga disebutkan anggota KPU bersedia tidak menduduki jabatan di pemerintahan dan BUMN atau BUMD selama masa keanggotaan.

Dalam tiga pemilu di era reformasi, kita mencatat sejumlah hal yang harus diperbaiki. Pemilu 1999 dengan keanggotaan KPU dari parpol, KPU tidak menandatangani hasil pemilu. Presiden BJ Habibie yang meneken hasil pemilu itu.

Pada Pemilu 2004, keanggotaan KPU diisi para intelektual, yang dipimpin Nazaruddin Syamsuddin. Pemilu yang dinilai paling demokratis itu membawa empat dari sembilan anggota KPU ke penjara.

Seusai Pemilu 2004, salah satu anggota KPU, Hamid Awaludin, diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, yang mengundang pertanyaan apakah dia netral semasa bertugas di KPU.

Juga anggota KPU lainnya, Anas Urbaningrum, pun hijrah ke Partai Demokrat, partai yang ikut dibidani SBY. Anas kini bahkan memimpin partai itu.

Pemilu 2009 penuh kesemrawutan. Banyak agenda pemilu terbengkalai. Bahkan, jumlah pemilih pun tidak menentu. Saking kisruhnya, Panitia Angket DPR tentang Daftar Pemilih Tetap merekomendasikan agar seluruh anggota KPU periode 2007-2012 yang dipimpin Abdul Hafiz Anshary diberhentikan.

Pada KPU Pemilu 2009 ini pun ada anggota, yakni Andi Nurpati, yang loncat pagar menjadi pengurus Partai Demokrat.

Demikianlah, KPU bisa menjadi jembatan emas, tapi juga sekaligus kuda tunggangan.

Karena itu, ia harus disterilkan. Publik harus menentang masuknya anggota partai di KPU. Bahkan, syarat menjadi anggota KPU sebaiknya diperketat, yaitu anggota KPU hanya boleh menjadi anggota partai politik setelah lima tahun melepaskan keanggotaannya di KPU. 
Source : Editorial MI (29 November 2010)

No comments:

Post a Comment