Tuesday, December 21, 2010

Banyak Pekerjaan Rumah Menanti

Oleh Helena Nababan
Menutup tahun 2010, olahraga Indonesia mendapat hiburan dengan meraih 4 medali emas, 9 perak, dan 13 perunggu pada Asian Games XVI-2010 di Guangzhou, China. Raihan ini dibanggakan Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Komite Olahraga Nasional Indonesia/Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas sebagai keberhasilan dibandingkan dengan raihan pada ajang yang sama tahun 2006 (2 emas, 3 perak, 15 perunggu).

Akan tetapi, keberhasilan itu perlu diberi catatan. Tiga emas dan tiga perak yang diraih di Asian Games 2010 datang dari cabang yang baru pertama kali dilombakan di Asian Games, perahu naga. Terima kasih kepada para pengurus Persatuan Olahraga Dayung Seluruh Indonesia (PODSI) yang terus-menerus dan konsisten membina serta menyiapkan para atletnya sehingga bisa berkompetisi dan menunjukkan keunggulan.

Dari hasil kerja PODSI, ada hal penting yang harus dipelajari para pemangku olahraga di Indonesia: pembinaan. Tak ada raihan prestasi yang bisa dicapai dalam waktu sekejap, semua perlu waktu, perlu penanganan. Untuk itulah Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dibuat.

Merujuk UU tersebut, pemerintah dan KONI punya peran dan fungsi pembinaan serta pengembangan olahraga melalui induk cabang olahraga. Namun, yang terjadi saat ini sejumlah cabang punya pola pembinaan yang jelas, sementara cabang lain polanya tidak jelas.

Kejuaraan nasional ataupun kejuaraan tingkat provinsi yang digelar masih sporadis. Jarang ada jadwal pasti dalam kalender masing-masing pengurus besar (PB) cabang olahraga, kecuali beberapa cabang yang sudah memiliki sponsor tetap. Praktis, pembinaan atlet sekarang lebih banyak dilakukan klub, bukan oleh induk organisasi.

Pembinaan bola basket—cabang yang masih populer di kalangan pelajar—misalnya, kurang terlihat serius. Beruntung beberapa sekolah masih memilih cabang ini sebagai kegiatan ekstrakurikuler sehingga anak muda yang tertarik basket bisa belajar dan mengembangkannya lewat sekolah. Bibit-bibit muda basket pun terus ada.

Namun, bagaimana dengan kelanjutan mereka? Kalau tidak masuk klub, pasti pembinaan mereka terhenti. Ajang kompetisi antarsekolah, tingkat daerah, hingga tingkat nasional sangat minim. Padahal, kalau PB menggarapnya dengan sungguh-sungguh, pembentukan tim nasional yang tangguh bisa dimulai dari sini.

Terhentinya Kobanita (kompetisi bola basket wanita) menunjukkan betapa bola basket yang banyak digemari kalangan muda tidak mendapat penanganan yang benar dan serius. Kobanita dan Kobatama, dua kompetisi di tahun 1990-an, menjadi ajang pembinaan yang efektif hingga Indonesia disegani di lingkungan ASEAN, termasuk Filipina.

Tidak berbeda jauh jika kita melihat kondisi cabang anggar. Banyak yang tidak tahu olahraga ini. Selain tidak tersedia informasi di mana seorang bisa belajar anggar, kejuaraan yang bisa sekaligus menjadi sarana promosi amat minim dilaksanakan.

Mungkin tidak terbayangkan, atlet anggar unggulan Indonesia, Sinatrio, justru meraih rangking dunia ketika dia belajar di Kanada. Kepiawaian Sinatrio baru diketahui ketika dia menjadi juara PON 2008 di Kalimantan Timur.

Cabang senam pun setali tiga uang. Di Indonesia cabang ini lebih banyak dikenal lewat senam kebugaran, bukan senam prestasi. Sama seperti anggar, cabang ini juga minim kegiatan dan membuat cabang ini tidak terlalu dikenal. Pada tahun 2010 ini, kegiatan yang berhubungan dengan senam prestasi sama sekali tidak terdengar.

Sampai detik ini, tidak satu pun pesenam wajah baru yang muncul ke permukaan. Endriadi, M Aldilla Akbar (DKI Jakarta), Dewi Prahara, Astrida Nila Kusuma (Jatim), Nathalia Winindo, dan Cici Mitasari di senam ritmik serta Lody Lontoh dan Tyana Dewi K di nomor aerobik merupakan wajah-wajah lama. Toh, mereka pun masih dominan pada gelaran PON 2008 di Kaltim.

Lalu, bagaimana prestasi bisa terwujud?

Setali tiga uang dengan senam atau anggar adalah loncat indah. Cabang yang menonjolkan penguasaan teknik hanya dapat diraih dengan pelatihan kontinu. Tak pelak lagi, loncat indah hanya berkembang di wilayah tertentu di Indonesia. Keterbatasan sarana dan prasarana, seperti kolam dengan kedalaman tertentu dan papan loncat standar, menjadikan pembinaan berlangsung apa adanya.

Wajar jika Husaini Noor dan Nasrulah, dua atlet loncat indah senior yang baru saja memperkuat tim Indonesia ke Asian Games, hanya menempati nomor buncit dari tujuh peserta di nomor papan 10 meter sinkro.

Apa yang terjadi di cabang menembak pun tidak terlalu jauh berbeda. Cabang ini terkesan eksklusif karena hanya segelintir orang yang menyenangi dan memiliki peralatannya. Selain mahal karena mesti diimpor, kepemilikan alat mesti dilengkapi surat tertentu sehingga hanya golongan tertentu yang bisa memiliki peralatan menembak.

Kepala Bidang Target PB Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu Seluruh Indonesia (Perbakin) Siswanto mengatakan, mahalnya peralatan membuat minimnya minat anak muda terhadap cabang menembak. Kalaupun ada klub menembak, yang tertarik ikut adalah golongan berada yang sanggup membeli senjata.

”Perkembangan menembak di Indonesia memang berbeda jika dibandingkan dengan di Vietnam atau China atau negara-negara pecahan Rusia. Di sana pemerintah mendukung betul pengenalan cabang menembak kepada anak-anak usia sekolah serta melengkapi dengan sarana dan prasarana. Regenerasi itu terus berjalan. Kita lambat,” ujar Siswanto.

Menembak akhirnya sama saja dengan beberapa cabang lain, kejuaraan nasional tidak terjadwal reguler, lebih banyak diselenggarakan ketika ada sponsor dan agenda khusus.

Bahkan, cabang olahraga yang populer seperti tenis pun dalam 10 tahun terakhir tidak pernah lagi melahirkan petenis dengan peringkat dunia yang bagus. Selain mereka tidak pernah diikutkan dalam ajang turnamen tenis ATP atau WTA, kompetisi dalam negeri pun tidak diciptakan dengan baik.

Petenis muda kita lebih senang mengikuti turnamen dalam negeri yang menyediakan hadiah uang meski tempatnya di kota kecil di Sumatera atau Kalimantan. Mereka lebih memilih uang daripada harus bertanding di kejuaraan ATP atau WTA yang hanya menghabiskan uang.

Dana untuk Operasional
Keberadaan induk organisasi yang lebih banyak diam ketimbang bergerak menciptakan kompetisi reguler itu menunjukkan bahwa Kemenpora dan KONI kurang serius melakukan pembinaan. Pemassalan yang mestinya dilakukan pemerintah, khususnya Kemenpora, dan KONI yang mestinya mengembangkan prestasi tak mampu berbuat banyak karena terkendala beragam soal. Yang paling utama tentulah soal dana.

Sekarang ini, pemerintah lebih banyak memberi dana hanya untuk operasional induk organisasi semata. Akibatnya, mereka yang dapat mencari sponsor bisa menyelenggarakan ajang kejuaraan secara teratur, sementara cabang yang kurang populer dan tidak berprestasi seperti hidup segan mati tak mau.

Kemenpora dan KONI selama ini hanya berkutat pada penyiapan atlet untuk ajang multicabang semacam SEA Games, Asian Games, ataupun olimpiade. Kedua lembaga ini kurang memikirkan pembinaan atlet dari tingkat paling dasar.

Padahal, atlet potensial dan berprestasi tidak muncul tiba-tiba. Ada jenjang-jenjang berupa kejuaraan yang dilalui sehingga muncul bakat-bakat mutiara itu.

Kalau mau serius, seharusnya turnamen atau kejuaraan dalam negeri hingga tingkat paling tinggi, seperti kejurnas, harus segera dibenahi. Demikian juga model perekrutan atlet dan pelatihannya.

Kejurnas dapat dilakukan dengan membatasi usia peserta sehingga tidak selalu didominasi atlet senior. Setiap induk memiliki pemandu bakat agar para yunior yang tampil di kejurnas diharapkan dapat memberikan prestasi di masa depan. Kejurnas jangan hanya dijadikan ajang reuni, sekadar untuk melepas kangen para atlet senior.

”Memang kita harus segera membenahi tata sistem pembinaan dengan pembibitan yang lebih jelas, sistem pembinaan dari daerah ke pusat yang harus jelas, serta penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi,” ujar H Hari Setijono, dari Satlak Prima.

Itu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan KONI. Kalau tidak mulai dari sekarang, kapan lagi? Target menjadi juara umum di SEA Games 2011 tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Sumber :Kompas Cetak

No comments:

Post a Comment