Tuesday, December 21, 2010

Setitik Harapan demi Kebanggaan Prestasi

Senin, 20 Desember 2010 | 16:56 WIB
Pemain timnas Indonesia merayakan kemenangan ke arah pendukungnya usai mengalahkan timnas Filipina dalam semifinal Piala Suzuki AFF 2010 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis (16/12/2010). Indonesia menang 1 - 0.
Oleh Gatot Widakdo
Prestasi olahraga kita seperti gerakan dalam tarian poco-poco dari kawasan Indonesia timur. Maju selangkah, mundur dua langkah, atau kadang cuma jalan di tempat. Berbagai program pembinaan sudah dijalankan, tetapi hasilnya tidak menunjukkan hasil konsisten. Itu sebabnya dalam beberapa gelaran olahraga, nama Indonesia tidak terlalu diperhitungkan.

Sepanjang tahun 2010, tak banyak prestasi spektakuler yang dicetak insan olahraga di Indonesia. Yang teraktual, pada ajang multicabang Asian Games XVI di Guangzhou, China, bulan November lalu. Di klasemen akhir, Indonesia—dengan 4 medali emas, 9 perak, dan 13 perunggu—bercokol di peringkat ke-15. Hasil ajang Asian Games ini merupakan cermin dari pembinaan olahraga nasional sepanjang tahun 2010.

Dilihat dari sisi jumlah medali dan posisi Indonesia pada klasemen akhir memang ada peningkatan dibandingkan dengan ajang serupa yang digelar di Doha, Qatar, empat tahun silam. Ketika itu, Indonesia meraih 2 emas, 3 perak, dan 15 perunggu serta menduduki peringkat ke-22. Namun, klaim keberhasilan yang disampaikan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan Ketua Umum KONI Rita Subowo atas pencapaian ini patut dipertanyakan.

Pasalnya, medali emas yang didapat Indonesia bukan dari atlet binaan KONI ataupun hasil Program Indonesia Emas (Prima) yang dibuat Menpora dan KONI. Tiga medali emas diraih cabang perahu naga, cabang olahraga yang sebelumnya nyaris tidak diberangkatkan. Satu lagi disumbangkan oleh atlet bulu tangkis nonpelatnas, Markis Kido/Hendra Setiawan. Artinya, meski target raihan medali emas terpenuhi, semua itu bukan didapat dari atlet yang sebelumnya telah diprediksi bisa meraih emas.

Satu hal lagi, meskipun peringkat Indonesia di Asian Games kali ini lebih baik, jika dibandingkan dengan prestasi negara ASEAN lainnya, posisi Indonesia tetap masih kalah dari Thailand (peringkat ke-9 dengan 11 emas, 9 perak, dan 32 perunggu) dan Malaysia (peringkat ke-10 dengan 9 emas, 18 perak, dan 14 perunggu). Dengan hasil ini, Menpora dan KONI harus bekerja keras jika ingin mewujudkan mimpi mereka meraih juara umum pada ajang SEA Games 2011 yang akan digelar di Jakarta dan Palembang.

Mimpi di Siang Bolong
Bukannya pesimistis, keinginan menjadi juara umum pada SEA Games 2011 mendatang seperti mimpi di siang bolong. Siapa pun tahu, untuk mencetak prestasi emas tidak bisa dibuat secara instan dan semudah membalikkan telapak tangan. Parahnya lagi, pembinaan atlet Indonesia sekarang tidak dilakukan dengan sistem jangka panjang. Program Atlet Andalan yang mengadopsi pembinaan atlet jangka panjang dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi juga telah ditinggalkan.

Sudah sejak lama kita mengingatkan bahwa orientasi pembangunan olahraga bangsa ini sepertinya bergerak ke arah yang salah. Kita lebih memacu prestasi tanpa memerhatikan struktur bangunan yang mendukung prestasi itu sendiri. Prestasi seharusnya dianggap sebagai konsekuensi dari adanya struktur bangunan olahraga yang kukuh, yang salah satu pilar utamanya adalah budaya berolahraga dari masyarakat.

Bicara potensi, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta jiwa adalah salah satunya. Bayangkan, andai kata beberapa puluh juta orang melakukan kegiatan olahraga secara teratur dan memanfaatkan olahraga sebagai bagian dari kebutuhan hidup sehari-hari, tidak mustahil akan muncul beberapa ratus ribu bibit unggul yang memiliki bakat dan potensi. Tidak perlu lagi ada ide program naturalisasi seperti dilakukan di cabang olahraga sepak bola untuk memajukan sepak bola.

Kemudian, andai kata mereka dilatih secara khusus, tidak mustahil akan muncul beberapa puluh ribu calon juara berbagai cabang olahraga. Andai kata mereka dibina melalui proses pembinaan menuju prestasi tinggi, tidak mustahil akan muncul beberapa ribu calon juara dunia di berbagai cabang olahraga.

Karena itu, pemangku kepentingan olahraga sudah selayaknya menyusun program-program untuk membangkitkan prestasi olahraga yang dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan. Pembinaan dan pelatihan juga sudah seharusnya menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi agar segala sesuatu yang dikerjakan bisa efektif dan efisien dalam rangka terciptanya peningkatan prestasi olahraga yang berkelanjutan.

Yang tak kalah penting, para pembina olahraga juga harus punya komitmen bersama untuk bekerja lebih keras, pertama-tama dengan menggairahkan kembali kegiatan turnamen dan kompetisi mulai dari level yang paling dasar. Tanpa itu semua, tidak akan ada atlet yang muncul.

Cetak biru pembinaan olahraga Indonesia, seperti tertuang dalam UU Nomor 3/2005, mendudukkan pemerintah dan KONI pada pusaran utamanya. Sayangnya, peran besar yang harus dimainkan pemerintah tidak diimbangi oleh ketersediaan dana yang memadai, bahkan cenderung birokratis.

Pada penyelenggaraan pelatnas Asian Games 2010, induk organisasi olahraga menyesalkan birokrasi keuangan yang berbelit-belit. Setiap kegiatan harus dibuat dalam sebuah proposal yang diajukan ke Dewan Pengarah Satlak Prima. Jika disetujui, uang kegiatan itu pun baru turun. Mengapa tidak dibuat rencana anggaran triwulan, caturwulan, atau semester agar tidak setiap hari pengurus disibukkan oleh proposal.

Masih Ada Kebanggaan
Sejauh ini kita masih bisa bangga, atlet-atlet bulu tangkis dapat bicara banyak di turnamen internasional. Setidaknya tradisi medali emas di ajang Asian Games dan Olimpiade masih bisa dipertahankan dari cabang bulu tangkis. Apresiasi juga patut diberikan kepada atlet angkat besi, voli pantai, balap sepeda, perahu naga, dan atletik yang bisa unjuk gigi di kawasan Asia.

Di ajang otomotif, kita punya pebalap muda berbakat Rio Haryanto yang menjadi juara umum Formula BMW Pacific 2009 dan menjadi pebalap Indonesia pertama yang menjajal mobil Formula 1. Sementara dari arena tinju profesional, sepak terjang Chris John sangat membanggakan. Petinju berusia 31 tahun ini masih tercatat sebagai juara dunia kelas bulu versi WBA.

Kita juga cukup bangga melihat perjuangan tim nasional PSSI yang cukup mengesankan selama babak penyisihan Piala Suzuki AFF. Penampilan mereka memberi efek euforia bagi masyarakat Indonesia yang memang sangat haus dengan kebanggaan prestasi. Bagi masyarakat, prestasi olahraga di ajang internasional adalah hiburan yang sangat berharga di tengah segala kesulitan yang mereka hadapi.
Sumber : Kompas Cetak

No comments:

Post a Comment