Thursday, December 16, 2010

Suara Rakyat Vs Suara Pemerintah

SETIAP pemerintahan yang menyebut dirinya demokratis mestinya berupaya mendengarkan suara rakyatnya. Dari rahim rakyat itulah setiap pemerintahan yang demokratis akan merasa kukuh berdiri. Sebab itulah kita tidak bisa memahami sikap pemerintah pusat seperti yang dipertontonkan dua pembantu Presiden, yakni Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar.

Kedua menteri itu dengan enteng mengatakan pemerintah tetap pada posisi bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akan dipilih. Bahkan Patrialis menegaskan pembahasan RUU Keistimewaan DIY tidak ada kaitan dengan sikap DPRD DIY.

Padahal, 'sidang rakyat' di Alun-Alun Utara Yogyakarta pada Selasa (14/12) dan Sidang Paripurna DPRD DIY pada hari yang sama hanya mempunyai satu keputusan, yakni Gubernur dan Wakil Gubernur DIY ditetapkan, bukan dipilih.

Pemerintah pusat memang keras kepala. Mengabaikan suara rakyat dan juga melecehkan suara DPRD yang merupakan representasi rakyat.

Kepada pemerintah pusat patut kita ingatkan lagi bahwa DPR/DPRD adalah wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat. Bahkan pada Pemilu 2009, anggota DPR/DPRD ditentukan terutama berdasarkan suara terbanyak.

Karena itu, mengingkari keputusan DPRD DIY sama dengan mencampakkan suara rakyat Yogyakarta. Ataukah pemerintah sedang menggalang opini agar masyarakat tidak memercayai dewan? Lagi pula, setiap pembahasan RUU haruslah melalui sosialisasi. Bukankah sebaik-baiknya perkara ialah kebijakan publik diambil setelah melalui perdebatan publik? Bukan suka-suka yang sedang berkuasa.

DPRD DIY melalui semua fraksi--kecuali Partai Demokrat--telah menyatakan sikap agar Gubernur dan Wakil Gubernur DIY ditetapkan, bukan dipilih. Apakah yang membuat pemerintah pusat tidak memercayai DPRD DIY? Apakah pula yang membuat pemerintah pusat tidak mau mendengarkan suara wakil rakyat itu? Apakah pula pasalnya pemerintah pusat mengabaikan suara rakyat yang disampaikan melalui parlemen jalanan di Yogyakarta?

Partai-partai di Yogyakarta telah membuat keputusan menyerap aspirasi rakyat. Jika RUU Keistimewaan itu kelak diajukan DPR, mestinya sikap partai-partai tersebut pun harus tecermin dalam pembahasan RUU itu. Artinya, bila partai-partai itu konsisten, tinggal Partai Demokrat saja yang sendirian menolak Gubernur dan Wakil Gubernur DIY ditetapkan.

Publik tentu percaya adanya soliditas partai sehingga apa yang menjadi keputusan di daerah merupakan keputusan dewan pimpinan pusat partai. Publik ingin percaya bahwa tidak ada transaksi dalam pembahasan RUU Keistimewaan DIY. Publik juga mencoba yakin bahwa tidak ada barter dalam Sekber Partai Koalisi sehingga gampang membuang aspirasi rakyat semata karena mengejar kekuasaan.

Pemerintahan yang bijak dan mendengarkan suara rakyat pasti menenteramkan. Sebaliknya, pemerintahan yang lalim akan dikecam dan dicemooh. Apakah Gamawan Fauzi dan Patrialis Akbar sedang memupuk kebencian rakyat terhadap pemerintah? 
Source : Editorial MI (16 Desember 2010)

No comments:

Post a Comment