Monday, December 6, 2010

Warteg Penahan Emosi

IBUKOTA lebih kejam dari ibu tiri. Kekejaman ibukota Jakarta ini tergambar dari rencana penerapan pajak kepada jenis usaha warung Tegal (Warteg). Kejam, karena rakyat kecil yang biasa menjadi pelanggan warteg harus merogoh kocek lebih banyak untuk menyantap sepiring nasi, tempe oreg, telur dadar dan sayur nangka.

Warteg di Jakarta memang jenis usaha yang paling dekat dengan rakyat kecil. Mulai dari supir angkutan umum, buruh, penjaja keliling, hingga mahasiswa berkocek pas-pasan. Jenis makanan yang beragam dengan harga murah memang menjadi andalan warteg agar ramai dikunjungi.

Satu lagi keistimewaan warteg yang mungkin tidak dimiliki jenis usaha restoran lain, pelanggan setia boleh utang. Di sinilah transaksi atas dasar saling percaya dan membutuhkan tercipta. Pemilik warteg hanya akan mencatat utang si pelanggan dan nantinya akan ditagih pada saat awal bulan.

Simbiosa mutualism ini tampaknya akan diganggu dengan rencana terbitnya aturan pungutan pajak yang mengatasnamakan pungutan jasa boga sebesar 10 persen.

Jika Pemprov DKI Jakarta "ngotot" mengenakan pajak 10 persen kepada pemilik warteg, sudah pasti beban itu kembali akan dilimpahkan ke konsumen. Konsumenlah yang harus menanggung beban pajak itu.

Bang Foke dan jajarannya harus melihat kembali seberapa urgensinya pengenaan pajak bagi warteg. Jika tujuannya untuk menambah pendapatan asli daerah, bukankah masih banyak terjadi kebocoran di sana-sini. Sebagai contoh, pajak parkir yang kebocorannya konon mencapai miliaran rupiah, sementara yang masuk ke kas daerah pada tahun anggaran 2010 mencapai Rp55,67 miliar.

Jika kita bandingkan antara pajak parkir dan warteg, keduanya menyasar pada elemen masyarakat yang bertolak belakang figur ekonominya. Pajak parkir dikenakan pada warga kaya pemilik mobil, sedangkan pajak warteg dikenakan pada warga miskin pedagang asongan. Adilkah ini?

Mungkin sebaiknya Pemprov DKI tidak perlu lelah mendata warteg yang ada di lima wilayah DKI Jakarta. Benahi dan tutup dulu kebocoran pajak yang selama ini terjadi. Karena jika warteg tetap dikenai pajak, bisa jadi warga akan mengurangi jatah makannya di warteg. Dan biasanya, jika lapar emosi akan mudah tersulut.
Source : Media Indonesia

No comments:

Post a Comment