Wednesday, March 23, 2011

PEMBELAJARAN DARI KEJADIAN PLTN FUKUSHIMA DAN URGENSI PEMBANGUNAN PLTN DI INDONESIA

Sore ini, di temani hujan deras di wilayah Kampus Teknik UGM, diadakan sebuah kajiang dengan tema yang sangat ramai diperbincangkan orang, bukan masalah politik, ekonomi, hukum, social, budaya, atau isu isu lainnya yang sering kita lihat di televisi, juga bukan isu tentang gayus lho. Hehehe

Ditemani derasnya hujan, kajian tersebut dimulai, dengan tema Menyibak Fakta di balik Ledakan PLTN Fukushima dan Urgensi pembangunan PLTN di Indonesia. Dua tema pokok dalam kajian tersebut akan saya angkat dalam tulisan kali ini.

Menarik memang kedua isu tersebut. Saya menyebut isu, karena memang selama ini tidak ada informasi jelas mengenai dua hal tersebut, hehehe.

Entah karena menariknya tema yang diangkat atau karena memang selama ini kita terus bertanya tanya tentang PLTN di Jepang pasca gempa dan tsunami atau karena apa, kajian tersebut ramai didatangi orang, saya sih sempat berfikir ramai karena hujan deras, sehingga membuat mahasiswa enggan untuk pulang dan akhirnya menyimak kajian tersebut, hehehe.

Isi tulisan ini, dimulai dari fakta yang terjadi di Lapangan tentang PLTN Fukushima di Jepang pasca gempa dan tsunami. Diskusi tersbut dibuka oleh Dr.Ir. Andang Widi Harto, MT yang merupakan dosen Teknik Nuklir UGM dan pakar nuklir Indonesia. Diskusi berlangsung menarik dan cukup untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di PLTN Fukushima yang selama ini simpang siur.
Pada dasarnya, di daerah timur Jepang terdapat 4 lokasi PLTN, masing masing di Onogawa, Fukushima daichi, Fukushima Daini, dan Tokodaini dari keempat lokasi PLTN tersebut, letak PLTN yang paling dekat dengan pusat gempa yakni Onogawa yang terdapat 4 reaktor PLTN. Hingga tulisan ini saya buat, dan berdasarkan uraian dari pembicara Dr.Andang tidak ada kerusakan dalam PLTN di Onogawa.

Sedangkan di Fukushima Daichi, yang sekarang sedang dalam proses penanganan dan ramai diperbincangkan, menurut beliau ada 6 reaktor PLTN. Jika kita melihat peta, PLTN di Fukushima daichi, terletak di bukit, yang kira kira setinggi 20 meter diatas permukaan laut, dan tinggi reactor berkisar 50 meter.  Sebelumnya saya jelaskan bahwa jenis PLTN di Fukushima Daichi merupakan jenis reactor BWR (Boiling Water Reactor). Reaktor jenis ini dibangun diakhir tahun 60an dan beroperasi tahun 70an, dengan masa operasi 40 tahun. Nah saat gempa terjadi, praktis batang kendali reactor berhenti, batang kendali ini merupakan penyerap neutron, dan secara otomatis akan naik keatas, reaksi nuklir berhenti, dan aspek ini sesuai dengan SOP dalam PLTN di dunia. Meskipun reaksi nuklir berhenti, masih terdapat 7% sisa peluruhan radioaktif, untuk PLTN di Fukushima yang berdaya 1500MW,  masih terdapat 7% dari 1500 MW atau berkisar 107 MW yang masih meluruh. Jika nilai ini dibandingkan dengan reactor nuklir riset di Indonesia yang terletak di Serpong Tanggerang, GA Siwabessy hanya 30 MW. Dalam kondisi semacam ini maka salah satu sistem pendinginan yang disebut dengan RHRS (Residual Heat Removal System)  akan mulai beroperasi (aspek ”Cool”). RHRS ini berfungsi untuk mengalirkan air pendingin ke dalam reaktor sehingga bahan bakar tidak menjadi terlalu panas. Karena Fukushima adalah reaktor buatan tahun 60-an, kemungkinan sistem RHRS ini berfungsi secara AKTIF. Artinya untuk mengalirkan pendingin diperlukan pompa yang jelas membutuhkan energi listrik.  Sistem ini kenyataannya berfungsi. Akan tetapi sekitar satu jam kemudian, generator listrik cadangan untuk menjalankan pompa tidak berfungsi karena ada tsunami. Akibatnya aliran pendingin menjadi tidak efektif. Akibatnya lagi panas yang dihasilkan di bahan bakar akibat peluruhan radioaktif tidak bisa ditransfer ke pendingin dengan baik dan menyebabkan naiknya temperatur bahan bakar dan pendingin. Ada dua fenomena yang kemudian dapat terjadi. Pertama, dengan naiknya suhu pendingin, ada kemungkinan terjadi proses penguapan/pendidihan jika suhu pendingin melebihi titik saturasinya. Jika proses ini berkelanjutan, akibatnya adalah bagian atas dari reaktor menjadi tidak tertutupi cairan, akan tetapi uap air. Jika telah terjadi kondisi semacam ini, maka kemungkinan terjadinya pelelehan bahan bakar menjadi besar. Jika bahan bakar meleleh, maka material radioaktif yang tadinya ada di bahan bakar akan ikut terlepas ke sistem pendingin. Kedua, seiring dengan naiknya suhu bahan bakar, suhu selongsong juga ikut naik. (Selongsong adalah material yang membungkus bahan bakar, terbuat dari paduan logam Zirkonium). Dalam kondisi normal suhu selongsong berkisar antara 330-350 derajat Celsius. Akan tetapi, pada suhu yang tinggi di atas 900 derajat Celsius, zirkonium akan mengalami oksidasi karena beraksi dengan air pendingin.

Zr + 2 H2O –> ZrO2 + 2 H2

Dari reaksi tersebut, terlihat bahwa akan dihasilkan gas hidrogen. Laju reaksi pembentukan hidrogen ini sangat tergantung dari suhu, semakin tinggi suhu, semakin banyak hidrogen yang dihasilkan. Jadi di sini ada dua jenis material berbentuk gas yang kemungkinan terbentuk, yaitu uap air dan hidrogen. Oleh karena itu, tekanan di dalam reaktor akan semakin meningkat (pressurization). Tekanan yang terlalu besar akan membahayakan integritas struktur reaktor. Oleh karena itu, operator Fukushima melakukan venting, atau membuka PRV (pressure relieve valve, katup penurun tekanan) dengan harapan tekanan di reaktor berkurang. Dengan proses venting ini, maka baik uap air maupun hidrogen akan terakumulasi di antara sungkup reaktor (terbuat dari baja) dan bangunan reaktor (beton). Hal tersebut terjadi di reactor 1 dan 3 yang atap reaktornya rusak.



Sedangkan yang terjadi di reactor 4, berbeda. Sebelum terjadi gempa dan tsunami, sedang perbaikan, sehingga reactor tidak terdapat bahan bakar atau isinya. Ketika tidak ada air, zirkonium yang merupakan bahan selongsong bahan bakar berekasi dengan udara, yang memicu pemanasan air dibawahnya sehingga menjadi uap, yang uap tersebut mengenai zirkonium yang belm reaksi, reaksi tersebut memicu terjadinya kebakaran di unit 4.

Dari serangkaian permasalahn yang terjadi di dalam PLTN Fukushima daichi, terdapat kesalahan design pembangunan PLTN, pertama peletakan mesin diesel yang lebih rendah dibawah permukaan laut, posisi ini lebih rendah dibanding letak reaktornya, sehingga saat terjadi tsunami, desiel tersebut terendam air tsunami yang menyebabkan mesin diesel mati dan tidak bisa bekerja untuk mendinginkan teras reactor yang terjadi peluruhan bahan bakar radioaktif. Sedangkan bangunan sendiri telah didesign dengan standar tahan gempa hingga 9 SR. Hal tersebut tampak, tidak ada kerusakan berarti dari bangunan reactor meskipun terjadi gempa dengan skala 9 SR. Kesalahan design tersebut yang akhirnya dibayar mahal oleh otoritas nuklir di Jepang.

Selanjutnya, banyak orang juga berfikir, apakah yang terjadi di Fukushima ini akan seperti yang terjadi di Chernobyl Rusia, tahun 1986, yang menyebabkan seluruh masyarakat dunia yang awam ketakutan.

Menurut beliau, kondisi antara  yang terjadi di Fukushima dan Chernobyl sangat berbeda. Dalam sisitem PLTN, terdapat beberapa komponen, salah satunya moderator, nah yang terdapat di Chernobyl, moderatornya merupakan Grafit dan Air. Pada dasarnya, secara teori, paduan grafit dan air sangat dilarang dalam teknologi nuklir, karena reaksi grafit dan air sangat reaktif. Pada Chernobyl, PLTN di design semakin panas semakin kuat dan bertenaga, kondisi ini juga sangat tidak disarankan dalam PLTN, untuk Fukushima didesign makin panas, makin tidak bertenaga. Saat terjadi ledakan di Chernobyl, reactor tidak dimatikan atau dishut down, ini tidak sesuai SOP pengoperasian PLTN. Akibatnya separuh bahan bakar nuklir di reactor keluar dan terbang keatas yang menyebabkan radiasi tinggi, separuh bahan bakar lagi meleleh ke tanah, yang menyebabkan radiasi berkepanjangan. Sedangkan di fukushima tidak sampai terjadi bahan bakar yang meleleh ambles kedalam tanah dan terbang keluar yang menyebabkan radiasi tinggi, yang terjadi hanya kebocoran radiasi akibat shutdownnya reaksi, dan keterlambatan suplai air pendingin.

Dibagian sesi kedua dari tulisan ini, akan dibahas seputar perkembangan teknologi nuklir di Indonesia, informasi ini sangat diperlukan, mengingat bangsa kita ini sebuah bangsa yang besar. Perkembangan nuklir dimulai saat terjadi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, yang akhirnya membuat Indonesia merdeka dari Jepang.

Nuklir sendiri telah dikenalkan di Universitas – Universitas di Indonesia, melalui program studi Fisika Atom, Kimia inti, dan sejak tahun 1977 telah ada Teknik Nuklir di UGM, yang dengan serius mendalami ilmu kenukliran secara teknik. Tidak hanya itu, terdapat pula 2 badan nuklir di Indonesia yang secara independen mengkaji dan meneliti nuklir BATAN dan BAPETEN, yang langsung berada di jalur komando Presiden RI.

Sekilas, konsumsi energy listrik di Indonesi mencapai nilai 30 Ribu MW, dan konsumsi energy yang besar tersebut masih dirasakan 60 % penduduk di Indonesia, masih sering kita melihat masyarakat pelosok Indonesia, khusunya diwilayah timur Indonesia, masih belum bisa menikmati listrik. Diperkirakan, konsumsi listrik Indonesia terus mengalami kenaikan, ini didukung pula oleh kebijakan pemerintah jangka panjang, demi mensukseskan 5 besar kekuatan ekonomi dunia ditahun 2025. Tentunya untuk mewujudkan nilai tersebut, industrialisasi di Indonesia terus digerakkan, konsumsi listrik tentu juga akan meningkat, selama ini kita ketahui bahwa, kita masih mengandalkan ekspor SDA sebagai bahan baku, masih belum bisa mengandalkan ekspor barang jadi yang lebih bernilai secara ekonomi. Demi mewujudkan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, maka di pemerintah menggenjot sector industry untuk bisa memproduksi barang jadi yang lebih bernilai ekonomi.

Dengan rencana tersebut, diperkirakan Indonesia membutuhkan konsumsi listrik mencapai 100 Ribu MW, konsumsi listrik Indonesia saat ini sekitar 30 Ribu MW. Untuk mengurangi defisit konsumsi listrik tersebut, diperlukan sumber sumber energy alternative di Indonesia, beragam sumber energy listrik dikembangkan. Mulai dari, batu bara, minyak dan gas alam, geothermal, angin, air, matahari, hingga biomass.

Sekarang, kalkulasi tiap potensi dari sumber sumber energy tersebut. Batu bara, minya dan gas alam, diprediksi mampu bertahan hingga 20-25 tahun kedepan. Geothermal mempunyai potensi eksplorasi 20 Ribu MW, Angin mempunyai potensi ekplorasi 10         Ribu MW, Air mempunyai potensi eksplorasi 70 Ribu MW, Biomass, mempunyai potensi 20 Ribu MW. Dari potensi energy alternative tersebut, yang bisa tereksplorasi hingga tahun 2025 hanya mencapai 30% dari total potensi yang ada, ini sangat dimungkinkan, karena dalam sistem PLTU, hanya 30% efisiensi, dan ini juga wajar terjadi dalam teknik. Artinya sumber alternatif dari Geothermal hanya 6 ribu MW, Angin sekitar 3 ribu MW, Air sekitar 21 ribu MW, biomass, sekitar 6 ribu MW. Jika semua energy alternative tersebut dikalkulasi, berkisar antara 40 ribu MW. Nilai tersebut masih belum mencukupi kebutuhan listrik yang deficit 70 ribu MW.

Pilihan dijatuhkan pada batu bara dan minyak bumi serta gas alam. Namun ketersediaan sumber energy tersebut dirasa hanya bisa dinikmati 20-25 tahun kedepan saja, karena cadangan minyak, gas, dan batu bara sudah menipis. Masih terdapat 2 alternatif jika kita tidak ingin menggunakan sumber energy minyak, gas dan batu bara. Sumber energy tersebut bisa berasal dari Nuklir atau membangun jaringan listrik interkoneksi se ASEAN.

Jika masyarakat,khawatir dengan pembangunan PLTN, maka pilihan terakhir adalah membangun jaringan listrik interkoneksi ASEAN. Konsep ini artinya, kita akan menyuplai listrik nasional dengan import listrik dari Negara tetangga seperti, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, atau Filiphina. Jika kita ketahui, Negara Negara tersebut, telah merancang pembangunan PLTN, nah jika di tahun 2025 kita memilih opsi pembangunan jaringan listrik interkoneksi, maka kita mengimport listrik dari Negara tetangga, dan bersumber dari PLTN juga. Hehehe.

Dari serangkaian cerita tersebut, cerita yang terungkap dari kajian bersama Dr. Ir. Andang Widi Harto, MT. Terdapat kesimpulan, bagaimana masyarakat, bangsa, dan Negara ini menyiapkan sumber untuk konsumsi listrik nasional, atau kita kembali ke zaman batu, tanpa listrik. Kalau kita juga membangun PLTN dan memilih opsi nuklir, maka tentu segala aspek keselamatan akan didahulukan, mulai pemilihan tempat PLTN yang bebas bencana alam, hingga design PLTN yang menggunakan PLTN jenis terbaru.

Sebuah kalimat terakhir dari beliau, Dr. Ir. Andang Widi Harto, MT. Nuklir dikenalkan kepada manusia dengan sisi negatifnya, melalui bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, sedangkan mobil, atau alat transportasi manusia, dikenalkan kepada manusia dari sisi positifnya.

Dari kalimat tersebut, ada makna terdalam yang ingin saya sampaikan, masyarakat tentu sudah cerdas, dan mulai berfikir mana yang terbaik, nuklir dikenalkan kepada manusia dari sisi negatifnya, dan inilah yang membuat manusia, berfikir dan berfikir, meneliti bagaimana supaya nuklir bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia, dengan tingkat keselamatan yang tinggi. Jika kita bandingkan, berapa korban tewas akibat nuklir dan berapa korban tewas akibat kecelakan mobil atau alat transportasi, tentu kita bisa mengambil keputusan dari peristiwa tersebut.

Kembali ke PLTN di Fukushima, hingga 2 minggu kejadian tersebut, belum satu orangpun diinformasikan meniggal dunia akibat radiasi nuklir Fukushima, sedangkan jika kita bandingkan selama 2 minggu ini, sudah berapa banyak orang meninggal dunia akibat kecelakan. Pembacalah yang bisa menilai.
Kembali ke masalah di Indonesia, sudah saatnya kita memiliki PLTN, tentu dengan keselamatan yang tinggi, karena ini tentunya untuk masyarakat, saya sepakat tidak ada satupun pakar nuklir, yang rela membangun PLTN dengan mengorbankan nyawa manusia, mereka terlah berjuang keras berfikir bagaimana caranya nuklir bisa bermanfaat dengan tingkat keselamatan yang tinggi.

Dengan kemajuan zaman, kemajuan teknologi, berkembangnya otak manusia, yang semakin cerdas, semakin pintar, kita harus percaya bahwa nuklir akan bisa dibangun dengan tingkat keselamatan yang tinggi. Kita harus menerima kenyataan tersebut, sebagai manusia yang dinamis, yang tidak statis. Tentunya, diluar itu semua, kecelakaan kecelekaan, tidak pernah bisa kita prediksi, namun hanya Tuhan YME yang menentukan, sebagai manusiapun seperti itu, kita tidak bisa menolak yang namanya resiko kegagalan PLTN, tapi kita memiminimalisir kegagalan PLTN. Bukankah prinsip itu yang selama ini kita jadikan pedoman hidup kita. Selanjutnya, terserah pembaca merespon seperti apa, bagaimana masyarakat menyikapi, takut terhadap nuklir atau dengan berfikir dinamis, menerima nuklir sebagai salah satu teknologi yang secara zaman berkembang pesat.

Semoga kejadian ini bisa membuat diri kita, bangsa Indonesia, dan masyarakat dunia belajar, dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Terima Kasih.

Alfian Nur Mujtahidin
*) Mahasiswa Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada



No comments:

Post a Comment