Tuesday, November 23, 2010

Konsistensi Oposisi

MENJADI oposisi tidaklah mudah karena kekuasaan selalu datang menggoda. Itulah yang kini kembali menghampiri Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Itu bukan godaan yang pertama. Manuver yang paling kencang terjadi ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hendak menyusun Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2.

Sejauh ini PDIP konsisten sebagai oposisi. Sumbangan yang penting dalam menumbuhkembangkan demokrasi.

Penting karena kultur oposisi belum tumbuh kuat. Sebagian karena kesalahan dalam memandang sistem politik liberal hasil Pemilu 1955, yang kemudian dihancurkan Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden pada Juli 1959. Sejak itu yang terjadi adalah demokrasi terpimpin alias otoriter.

Orde Lama itu kemudian tumbang dan lahirlah Orde Baru yang juga otoriter. Pemilu diselenggarakan bahkan hingga enam kali, tetapi yang terjadi mobilisasi dan pemaksaan. Ada tiga partai di zaman Pak Harto itu, tetapi suaranya tunggal.

Tidak ada checks and balances. Yang berjaya adalah hegemoni kekuasaan dengan akhir yang juga tragis ditumbangkan parlemen jalanan.

Sejarah jangan terulang kembali. Harus ada partai yang dengan sadar dan penuh tanggung jawab menegur, mengoreksi, dan bahkan memperingatkan kekuasaan agar tidak berlaku semena-mena dan sewenang-wenang.

Oleh karena itu, merupakan kewajiban semua anak bangsa, termasuk partai-partai pendukung pemerintah, untuk mencegah hegemoni kekuasaan dengan merawat partai oposisi.

Kekuasaan mustahil diawasi jika pemerintah mutlak menguasai legislatif. Saat ini saja pemerintahan SBY-Boediono sudah menguasai 75% suara di DPR. Itulah suara yang dimiliki enam partai koalisi di DPR, yaitu Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB. Bayangkan kalau PDIP ikut merapat dengan kekuasaan, jumlahnya mencapai 92% suara. Keadaan yang mirip dengan ketika Golkar sangat berjaya di masa Orde Baru.

Bayang-bayang hegemoni itulah yang kini menyertai wacana perombakan kabinet. Tokoh partai berkuasa tidak pernah berhenti memberikan iming-iming kursi menteri kepada PDIP, seperti yang diperlihatkan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Ahmad Mubarok.

Sadar atau tidak sadar, pernyataan Mubarok bisa ditafsirkan sebagai upaya memecah belah PDIP. Ia mengatakan banyak kader PDIP siap masuk ke gerbong pengganti menteri yang di-reshuffle Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam waktu dekat ini.

Sejauh ini, iming-iming yang ditawarkan Mubarok itu tidak mempan. Ketua Bidang Kehormatan DPP PDIP Sidharto Danusubroto menegaskan pihaknya tetap pada jalur sebagai partai penyeimbang pemerintah. Sebuah sikap yang hendaknya bukan semata-mata karena faktor Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

Di lain pihak, adalah jauh lebih terhormat bila tokoh partai berkuasa merawat koalisi daripada menebar iming-iming kursi menteri dan dengan itu mengobrak-abrik partai oposisi. 
Source : Editorial MI (24 November 2010)

No comments:

Post a Comment