Thursday, December 9, 2010

Mengoreksi Demokrasi

PESTA reformasi yang berlangsung sejak 1998 nyaris menenggelamkan bangsa ini dalam euforia berlebihan. Demokrasi disujud sebagai dewa penyelamat yang bisa menyelesaikan seluruh masalah bangsa ini. Serentak dengan itu, rezim Orde Baru dianggap tidak mewariskan satu pun hal yang bisa diteladani. Orde Baru menjadi stigma yang harus dikubur dalam-dalam dan diberangus karena otoriter dan korup.

Kini, setelah dua kali melaksanakan pemilihan umum presiden secara langsung dan ratusan pemilihan kepala daerah juga secara langsung, kita harus menimbang kembali banyak hal. Antara lain, kita prihatin karena pemilu hanya dimaknai sebagai medan pertarungan untuk merebut kekuasaan dengan menghalalkan politik uang.

Bahkan, di tingkat lokal, rakyat bisa muak dengan pemilu. Sebab hampir setiap hari dijejali dengan agenda pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) baik untuk gubernur maupun bupati dan wali kota. Bayangkan, pada 2010 ini digelar 244 pemilu kada di seluruh wilayah negeri ini. Itu pemborosan yang luar biasa, baik dana maupun energi.

Sekarang ada momentum untuk mengoreksi semua sisi buruk itu. Bukankah pemerintah dan DPR sedang membahas paket RUU bidang politik, yakni RUU Penyelenggara Pemilu, RUU Partai Politik, RUU Pemilihan Anggota Legislatif, dan RUU Pemilihan Presiden?
Perlulah dipikirkan sejumlah perubahan. Pertama, demi efisiensi, menyatukan semua pemilu. Pemilihan presiden dilaksanakan serentak dengan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.

Selain efisien, bagi publik hal itu juga berguna untuk mengukur kesamaan program antara calon presiden dan calon gubernur, bupati, atau wali kota dari partai yang sama. Publik dapat menyimak apakah ada atau malah tidak ada kesinambungan program dari sebuah partai di tingkat nasional dengan program-program lokal dari partai yang sama.

Kedua, harus ada cara mengikat janji presiden, setelah tidak ada lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Karena itu, mestinya segenap visi, misi, serta janji dan program presiden terpilih selama masa kampanye dibukukan dan disahkan MPR. Bukan sebagai bahan bagi majelis untuk mengontrol dan mengevaluasi presiden, melainkan agar publik memiliki pegangan mengenai program seorang presiden. Hal itu juga untuk memagari agar calon presiden tidak mudah menebar janji selama masa kampanye.

Ketiga, perlu pula dipertimbangkan pemilihan langsung hanya untuk presiden, anggota DPR, anggota DPD, serta gubernur. Bupati dan wali kota dipilih DPRD saja. Tidak bisa dimungkiri, gubernur tidak berdaya menghadapi bupati dan wali kota. Hal itu karena baik gubernur maupun bupati dan wali kota memiliki sumber legitimasi yang sama, yakni dipilih langsung oleh rakyat.

Akibatnya, gubernur sulit melakukan koordinasi dengan bupati. Koordinasi menjadi lebih sulit jika mereka berasal dari partai yang berbeda. Salah satu tujuan pemilihan langsung adalah untuk menghormati pilihan rakyat yang jujur dan rahasia. Tapi ternyata, dengan pemilihan langsung, rakyatlah yang dirusak menjadi mata duitan, dan pemimpin menjadi calon koruptor. 
Source : Editorial MI (08 Desember 2010)

No comments:

Post a Comment