Friday, December 10, 2010

Pembiaran TKI di Kolong Kandara

KANDARA memang tidak akrab di telinga kita. Ia hanyalah sebuah nama jembatan di kawasan Jeddah, Arab Saudi. Namun, justru di lokasi itulah pembiaran atas petaka kemanusiaan sedang terjadi.

Ratusan orang warga negara Indonesia hidup menggelandang di kolong Jembatan Kandara, persis seperti potret kaum gelandangan di kota-kota besar di Tanah Air. Mereka bisa bertahan hidup lantaran belas kasihan.

Ironisnya, mereka bukanlah warga yang sengaja kabur dari Indonesia untuk mencari suaka lalu terlunta-lunta. Mereka adalah bagian dari tenaga kerja Indonesia yang, karena berbagai sebab, telantar.

TKI hidup bak gelandangan di bawah kolong jembatan itu sudah berlangsung lama. Jumlah mereka dari tahun ke tahun terus menurun. Kini, mereka yang hidup seperti pengemis itu sekitar 175 orang, padahal pada 2008 mencapai 400 orang.

Pemerintah mengklaim warga Indonesia yang hidup di bawah kolong Jembatan Kandara itu bukan TKI yang telantar. Kebanyakan mereka yang masa berlaku izin tinggalnya di Arab Saudi sudah habis. Pemerintah bahkan mengaku tidak berdaya memulangkan seluruh warga Indonesia yang hidup di bawah kolong Jembatan Kandara itu.

Di Arab Saudi, terdapat sekitar 1 juta buruh migran Indonesia, 25 ribu di antaranya tidak memiliki izin tinggal lantaran sudah kedaluwarsa. Jadi, sekalipun jumlah yang menghuni kolong Jembatan Kandara menurun, tidak berarti persoalan berkurang. Jumlah itu hanyalah puncak gunung es yang siap meledak menjadi gelandangan baru.

Bukan cuma pemerintah Indonesia yang kewalahan mengurus para TKI itu. Pemerintah Arab Saudi pun kerepotan. Sebab yang beradu nasib di Arab Saudi tidak hanya dari Indonesia, tapi juga dari negara lain.

Yang menyedihkan, warga Indonesia yang hidup bak pengemis itu menjadi bahan lecehan dan dipandang sebelah mata oleh kebanyakan warga Arab Saudi. Itu sebabnya tingkat kekerasan terhadap TKI sangat tinggi di Arab Saudi.

Terlebih-lebih, kebanyakan TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga itu sangat minim keterampilan dan buruk kemampuan berbahasanya. Akan tetapi, itu tidak boleh dijadikan alasan untuk menindas dan memperlakukan TKI secara biadab.

Publik tentu belum melupakan bagaimana Sumiati, TKI dari Dompu, Nusa Tenggara Barat, dianiaya dan mulutnya digunting sang majikan. Begitu juga dengan nasib Kikim Komalasari, TKI asal Cianjur, Jawa Barat, yang disiksa dan dibunuh lalu jenazahnya dibuang di tempat sampah.

Tragedi yang dialami para TKI sepertinya tidak akan berhenti. Cerita pilu TKI yang terus berulang membuat sejumlah organisasi kemasyarakatan Islam mendesak pemerintah melakukan moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi. Akan tetapi, usul itu ditolak pemerintah.

Begitulah, pemerintah memilih tidak berbuat apa pun. Di satu pihak menolak moratorium, tetapi di lain pihak tidak mengambil langkah untuk menyelamatkan warga mereka. Pemerintah memilih membiarkan warga mereka yang bekerja di luar negeri itu terlunta-lunta, bahkan dianiaya dan dibunuh. Pembiaran itu jelas menunjukkan buruknya tanggung jawab. 
Source : Editorial MI (10 Desember 2010)

No comments:

Post a Comment