KRITIK datang silih berganti ditujukan kepada pemerintahan Presiden Yudhoyono. Bahkan, pada hari yang sama, Senin (10/1), kritik keras dilontarkan dua kalangan yang berbeda.
Yang pertama berasal dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Ia menilai negara gagal meletakkan fondasi dasar bagi pencapaian kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Sumber kegagalan itu ialah pemimpin yang hanya mementingkan pembangunan citra.
Kritik dari partai oposisi tentu perkara yang lazim. Sepatutnya partai oposisi setiap awal tahun, terlebih di hari ulang tahun partai, menyampaikan evaluasi yang tajam kepada yang berkuasa.
Yang extraordinary ialah bila pemuka lintas agama juga menyampaikan kritik, bahkan lebih keras dan lebih pedas.
Dan itulah yang terjadi. Sembilan pemuka agama, terdiri dari Syafii Maarif, Andreas A Yewangoe, Din Syamsuddin, Uskup D Situmorang, Biksu Pannyavaro, Salahuddin Wahid, I Nyoman Udayana Sangging, Franz Magnis Suseno, dan Romo Benny Susetyo, menganggap pemerintahan Presiden Yudhoyono telah gagal mengemban amanah rakyat. Sudah terlalu banyak kebohongan yang dilakukan pemerintah atas nama rakyat.
Lebih dari itu, para pemuka agama itu berjanji mengajak umat mereka untuk memerangi kebohongan yang dilakukan pemerintahan Presiden Yudhoyono.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif bahkan mengingatkan pemerintah, mulai presiden hingga kepala desa, untuk membuka telinga lebar-lebar. "Telinganya harus dibuka untuk mendengar aspirasi rakyat. Jangan ditutupi telinganya."
Pemuka agama meminta pemerintah membuka telinga, jelas, seruan yang sangat tajam. Ini menunjukkan pemerintah, yang dipilih rakyat itu, sudah tidak peduli dengan suara rakyat. Membuka telinga saja enggan, apalagi mengubah kebijakan yang keliru. Dari perspektif itu, tidaklah mengherankan bila tingkat kepuasan publik terhadap Yudhoyono terus merosot sejak Juli 2009.
Menyebut pemerintah berbohong, jelas, penilaian yang sangat negatif. Sebab itu menyangkut legitimasi moral yang mendalam. Bukankah siapa pun yang berbohong tak pantas dipercaya?
Terlebih, karena yang tidak percaya itu adalah para pemuka agama, yang menyandarkan diri pada nilai-nilai yang dipertanggungjawabkan terutama secara vertikal, yaitu kepada Sang Khalik.
Suara mereka jelas suara yang bersih dari kepentingan sempit. Suara mereka bukan suara oposisi yang memang selayaknya menekankan segi-segi kegagalan yang berkuasa. Oleh karena itu, sesungguhnya tiada alasan bagi Presiden Yudhoyono untuk tidak mengindahkannya.
Pertanyaannya, apakah kritik itu didengarkan? Apakah pemerintahan Presiden Yudhoyono membuka telinga?
Tak mudah untuk jujur. Lebih mudah memproduksi kebohongan demi kebohongan untuk menutupi kegagalan. Padahal, honesty is the best policy. Termasuk, jujur untuk mengakui gagal....
Yang pertama berasal dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Ia menilai negara gagal meletakkan fondasi dasar bagi pencapaian kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Sumber kegagalan itu ialah pemimpin yang hanya mementingkan pembangunan citra.
Kritik dari partai oposisi tentu perkara yang lazim. Sepatutnya partai oposisi setiap awal tahun, terlebih di hari ulang tahun partai, menyampaikan evaluasi yang tajam kepada yang berkuasa.
Yang extraordinary ialah bila pemuka lintas agama juga menyampaikan kritik, bahkan lebih keras dan lebih pedas.
Dan itulah yang terjadi. Sembilan pemuka agama, terdiri dari Syafii Maarif, Andreas A Yewangoe, Din Syamsuddin, Uskup D Situmorang, Biksu Pannyavaro, Salahuddin Wahid, I Nyoman Udayana Sangging, Franz Magnis Suseno, dan Romo Benny Susetyo, menganggap pemerintahan Presiden Yudhoyono telah gagal mengemban amanah rakyat. Sudah terlalu banyak kebohongan yang dilakukan pemerintah atas nama rakyat.
Lebih dari itu, para pemuka agama itu berjanji mengajak umat mereka untuk memerangi kebohongan yang dilakukan pemerintahan Presiden Yudhoyono.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif bahkan mengingatkan pemerintah, mulai presiden hingga kepala desa, untuk membuka telinga lebar-lebar. "Telinganya harus dibuka untuk mendengar aspirasi rakyat. Jangan ditutupi telinganya."
Pemuka agama meminta pemerintah membuka telinga, jelas, seruan yang sangat tajam. Ini menunjukkan pemerintah, yang dipilih rakyat itu, sudah tidak peduli dengan suara rakyat. Membuka telinga saja enggan, apalagi mengubah kebijakan yang keliru. Dari perspektif itu, tidaklah mengherankan bila tingkat kepuasan publik terhadap Yudhoyono terus merosot sejak Juli 2009.
Menyebut pemerintah berbohong, jelas, penilaian yang sangat negatif. Sebab itu menyangkut legitimasi moral yang mendalam. Bukankah siapa pun yang berbohong tak pantas dipercaya?
Terlebih, karena yang tidak percaya itu adalah para pemuka agama, yang menyandarkan diri pada nilai-nilai yang dipertanggungjawabkan terutama secara vertikal, yaitu kepada Sang Khalik.
Suara mereka jelas suara yang bersih dari kepentingan sempit. Suara mereka bukan suara oposisi yang memang selayaknya menekankan segi-segi kegagalan yang berkuasa. Oleh karena itu, sesungguhnya tiada alasan bagi Presiden Yudhoyono untuk tidak mengindahkannya.
Pertanyaannya, apakah kritik itu didengarkan? Apakah pemerintahan Presiden Yudhoyono membuka telinga?
Tak mudah untuk jujur. Lebih mudah memproduksi kebohongan demi kebohongan untuk menutupi kegagalan. Padahal, honesty is the best policy. Termasuk, jujur untuk mengakui gagal....
Source : Editorial MI (12 Januari 2011)
No comments:
Post a Comment