Wednesday, March 23, 2011

ANALISIS KECELAKAAN PLTN FUKUSHIMA DI JEPANG

Hari Selasa 22 Maret 2011, Jurusan Teknik Fisika FT UGM mengadakan konferensi pers mengenai peristiwa Kecelakaan PLTN di Fukushima, Jepang dengan harapan untuk memberikan informasi yang obyektif kepada masyarakat.
Adapun draft PRESS RELEASE adalah sebagai berikut.
ANALISIS KECELAKAAN PLTN FUKUSHIMA DI JEPANG
Oleh
Tim Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Jl. Grafika 2, Yogyakarta 55281
Telp./Fax. : 0274-580882

Pendahuluan
Pada hari Jumat 11 Maret 2011, telah terjadi gempa dengan skala 8,9 pada skala Richter. Gempa tersebut telah memicu kegagalan sistem pendinginan pada PLTN Fukushima Daichi. Selanjutnya terjadilah peristiwa sebagaimana yang telah kita lihat dari berbagai pemberitaan seperti terjadinya ledakan hingga penyebaran material radioaktif ke lingkungan.

Uraian singkat tentang PLTN Fukushima Daichi
PLTN Fukushima Daichi termasuk PLTN jenis BWR (Boiling Water Reactor).  Pada PLTN jenis BWR, teras reaktor langsung digunakan untuk mendidihkan air menjadi uap.
Aspek penting yang perlu dijelaskan secara singkat adalah tentang PLTN tersebut adalah :
-          Teras dan bejana reaktor
-          Sistem pendinginan pada operasi normal
-          Sistem pendinginan pasca shutdown
http://www.nrc.gov/reactors/generic-bwr.pdf

Teras dan bejana reaktor
Bagian utama PLTN adalah teras reaktor yang terletak di dalam bejana reaktor. Teras reaktor merupakan susunan bahan bakar nuklir. Bahan bakar nuklir adalah uranium diperkaya dalam bentuk UO2 keramik. Bahan bakar tersebut berbentuk pelet dan dimasukkan dalam kelongsong zirkonium alloy menjadi batang bahan bakar.
Batang bahan bakar selanjutnya disusun menjadi perangkat bahan bakar. Dan akhirnya perangkat bahan bakar disusun menjadi teras reaktor. Air pendingin dialirkan di sela-sela batang bahan bakar.

Sistem pendinginan pada operasi normal
Secara singkat aliran air adalah sebagai berikut. Air yang telah didemineralisasi dipompakan oleh pompa umpan masuk ke bejana reaktor. Air ini mengambil kalor dari batang-batang bahan bakar nuklir dan berubah menjadi campuran uap dan air.
Pada bagian atas bejana, terdapat pemisah uap. Uap dipisahkan dari air dan air dikembalikan ke bejana dengan menggunakan pompa sirkulasi. Uap air selanjutnya dialirkan ke turbin dan memutar turbin. Turbin dihubungkan dengan generator listrik dan menghasilkan listrik.
Uap setelah keluar dari turbin selanjutnya diembunkan pada kondenser menjadi air. Air ini kemudian dipompakan kembali ke bejana reaktor. Demikian seterusnya sehingga terjadi siklus air dari bejana reaktor, turbin, kondenser, pompa umpan dan kembali ke bejana reaktor.
Pada sistem ini, diperlukan suplai daya listrik untuk menggerakkan pompa umpan, pompa sirkulasi reaktor dan pompa pendingin kondenser. Daya listrik ini diperoleh dari generator PLTN itu sendiri.

Sistem pendinginan pasca shutdown
Setelah reaktor dimatikan, masih terdapat pembangkitan kalor akibat peluruhan radioaktif dari produk fisi. Dibandingkan dengan pembangkitan kalor pada operasi normal, pembangkitan kalor peluruhan ini relatif kecil. Pada beberapa saat setelah shutdown, pembangkitan kalor tersebut sekitar 7 % dari daya normal. Selanjutnya pembangkitan kalor ini terus mengalami penurunan. Sekalipun demikian, tetap diperlukan pendinginan untuk mencegah kerusakan susunan bahan bakar dalam teras akibat overheating.
Catatan: 7% ketika padam, setelah 1 menit turun jadi 3,2%.
PLTN Fukushima Daichi termasuk jenis BWR 3, BWR-4, BWR-5, yang terkategori sebagai PLTN generasi 2 (PLTN yang dibuat sebelum tahun 1980-an). PLTN generasi 2 pada umumnya masih menggunakan sistem keselamatan aktif, yaitu memerlukan sumber tenaga darurat setelah dimatikan.
Setelah reaktor dimatikan, sistem pendinginan normal masih bisa difungsikan selama beberapa saat. Uap yang terbentuk tidak dialirkan ke turbin tetapi langsung ke kondenser untuk diembunkan. Air yang terbentuk dipompakan ke bejana reaktor. Untuk ini, diperlukan suplai listrik untuk menggerakkan pompa air umpan dan pompa pendingin kondenser. Akan tetapi karena turbin tidak bekerja, maka suplai daya listrik ini tidak dapat diambil dari generator PLTN. Dengan demikian harus ada pembangkit listrik yang berupa mesin diesel darurat.
Karena pembangkitan kalor semakin menurun, maka uap yang terbentuk tidak mencukupi untuk penggunaan sistem pendingin normal. Pendinginan selanjutnya diambil alih oleh sistem pendinginan pasca shutdown (setelah pemadaman).
Pada desain BWR-3, BWR-4 dan BWR-5, bejana reaktor berada di dalam pengungkung yang terbuat dari baja dengan dilindungi beton. Di bagian bawah dari bejana pengungkung terdapat kolam supresi tekanan yang tidak lain adalah kondenser. Pada kolam ini, air pendingin harus dapat dialirkan melalui pipa-pipa kondenser di dalam kolam supresi.
Setelah reaktor mati dan pendinginan dengan jalur operasi normal tidak dapat difungsikan, maka digunakan jalur operasi pasca pemadaman. Uap dari bejana reaktor dilepaskan ke pengungkung (dry well), selanjutnya masuk ke kolam supresi. Ketika menyentuh pipa-pipa kondenser kolam supresi, uap ini akan mengembun dan menjadi air. Air selanjutnya dipompakan kembali ke bejana reaktor.
Demikian seterusnya sehingga kalor dari teras reaktor dapat dibuang melalui kondenser pada kolam supresi untuk jangka waktu cukup lama hingga pembangkitan kalor menjadi cukup kecil untuk mampu merusak teras. Selama sistem pendinginan pasca shutdown ini berjalan normal, maka tidak akan terjadi overheating dan susunan bahan bakar tidak mengalami kerusakan.
Akan tetapi sistem pendingin pasca shutdown ini memerlukan suplai daya listrik untuk menggerakkan pompa sirkulasi pendingin dan pompa pendinginan kondenser kolam supresi.
Dan juga karena turbin tidak bekerja, maka suplai daya listrik ini tidak dapat diambil dari generator PLTN dan harus disuplai oleh mesin diesel darurat.

Analisis kecelakaan PLTN Fukushima Daichi
Pada lokasi Fukushima Daichi, terdapat 6 unit PLTN. Pada saat terjadinya gempa, unit 1,  2 dan 3 sedang beroperasi sementara unit 4, 5 dan 6 sedang tidak beroperasi karena menjalani maintenance. Unit 1, 2, 3, 4 berada pada satu blok sedangkan unit 5 dan 6 di blok yang lain.
Pada saat terjadi gempa, sistem shutdown pada unit 1, 2 dan 3 bekerja dengan baik dan secara otomatis mematikan reaktor. Hal ini sesuai dengan prosedur.
Setelah reaktor dapat dimatikan, secara otomatis pula mesin diesel darurat bekerja untuk mengambil alih suplai listrik untuk menjalankan fungsi pendinginan teras pasca shutdown. Hal ini pun sesuai dengan prosedur. Pendinginan berlangsung sebagaimana prosedur shutdown normal.
Masalah timbul satu jam kemudian ketika gelombang tsunami datang. Terjangan gelombang tsunami diberitakan membuat mesin diesel mati. Tentang bagaimana mekanisme kegagalan mesin diesel akibat tsunami ini, maka penulis belum mendapatkan data rinci.
Setelah mesin diesel gagal, pompa RCIP yang digerakkan uap dari reaktor difungsikan beberapa saat untuk mensuplai air ke bejana reaktor. Selanjutnya suplai daya listrik dialihkan ke baterai cadangan. Sejauh pengetahuan penulis, daya yang mampu disuplai oleh baterai cadangan tidak sebesar daya yang mampu disuplai oleh mesin diesel. Dengan demikian, pendinginan tidak berlangsung normal.
Selanjutnya, diberitakan bahwa baterai cadangan hanya mampu bertahan selama 7-8 jam. Pada saat gempa, dilaporkan jaringan listrik juga langsung mati, dengan demikian tidak mungkin menggunakan suplai listrik jaringan.
Diberitakan pula bahwa diambil keputusan untuk mendatangkan generator diesel portabel. Akan tetapi sambil menunggu kedatangan generator tersebut, reaktor nuklir sempat beberapa jam tanpa daya listrik untuk menggerakkan sistem pendinginan pasca shutdown.

Konsekuensi kondisi tanpa back up daya listrik
Tanpa daya listrik sistem pendinginan pasca shutdown tidak dapat difungsikan. Pertama, pompa air pendingin untuk kondenser pada kolam supresi tidak dapat difungsikan sehingga uap yang dilepas ke bejana pengungkung tidak dapat diembunkan. Pelepasan uap dari reaktor terus berlangsung sehingga tekanan bejana menjadi naik.
Kedua, tidak ada pengembalian air ke bejana reaktor. Pelepasan uap yang terus berlangsung akan membuat permukaan air dalam bejana semakin menurun. Dengan demikian, bagian atas teras reaktor mulai tidak terendam air. Seharusnya seluruh teras reaktor harus terendam air.
Bejana pengungkung tidak dirancang untuk tekanan sangat tinggi, maka untuk menghindari kerusakan bejana pengungkung, sebagian uap terpaksa dilepaskan (venting). Seharusnya venting ini menuju ke saluran cerobong reaktor. Akan tetapi karena suhu gas yang tinggi, diputuskan untuk melakukan venting ke gedung reaktor.
Selama tidak terjadi kerusakan pada bahan bakar, maka radiasi yang terlepas adalah akibat aktivasi neutron terhadap material-material yang terbawa air pendingin. Aktivitasi radiasi semacam ini semestinya sangat kecil.
Akan tetapi, selama beberapa jam tanpa suplai daya listrik maka bahan bakar mengalami kenaikan suhu karena tidak mendapatkan pendinginan memadai. Di samping itu, sebagai konsekuensi dari venting, maka permukaan air dalam teras menurun sehingga bagian atas bahan bakar tidak terendam air. Kondisi ini akan mempercepat kenaikan suhu bahan bakar.
Pada suhu 700 ºC, kelongsong zirkon alloy mulai berubah fasa sehingga menjadi rapuh dan mudah retak. Jika suhu mencapai 1100 ºC, mulai terjadi reaksi antara zirkon dengan uap air yang menghasilkan gas hidrogen. Dalam kondisi beberapa jam tanpa pendinginan, kondisi-kondisi semacam ini sangat mungkin terjadi. Kedua reaksi atau proses tersebut tidak berlangsung cepat sehingga kerusakan yang terjadi bersifat parsial.
Akumulasi gas hidrogen akan menambah kecepatan peningkatan tekanan. Untuk mencegah kerusakan lebih parah, maka gas hidrogen juga dilepaskan (venting). Venting gas hidrogen diarahkan ke gedung reaktor. Karena gas hidrogen bersuhu cukup tinggi, maka pada saat hidrogen bertemu dengan oksigen di udara akan tersulut sehingga menimbulkan ledakan. Artinya ledakan ini merupakan reaksi kimia antara hidrogen dan oksigen, bukan ledakan nuklir. Hal ini ditandai dengan rendahnya tingkat radiasi yang dilepaskan, sangat berbeda dengan ledakan bom atom Hiroshima dan Nagasaki.
Ledakan kimia hidrogen ini tidak sekuat ledakan uap pada reaktor Chernobyl. Pada reaktor Fukushima hanya melemparkan atap dan dinding gedung sementara kerangka baja gedung masih utuh.
Dengan terjadinya kerusakan parsial pada bahan bakar, yang tidak sampai merusak integritas teras, maka material radioaktif terlepas ke pendingin dan ikut keluar pada saat venting tidaklah banyak. Lepasan radioaktif tidak sebesar pada kecelakaan reaktor nuklir Chernobyl karena kerusakan teras pada reaktor Fukushima adalah kerusakan parsial (sebagian besar teras dalam kondisi utuh) sementara itu kerusakan teras pada reaktor Chernobyl adalah kerusakan total (kerusakan integritas / keutuhan teras).
Seperti telah diuraikan sebelumnya, pembangkitan kalor pasca shutdown terus mengalami penurunan sehingga tingkat keparahan dari kecelakaan reaktor Fukushima dari waktu ke waktu akan mengalami penurunan.

Dampak kecelakaan PLTN Fukushima bagi masa depan industri nuklir
Tidak diingkari bahwa kecelakaan PLTN Fukushima merupakan pukulan bagi industri nuklir. Jerman dilaporkan menghentikan sementara operasi PLTN di negara tersebut untuk dilakukan evaluasi sistem keselamatan setelah mendapatkan protes.
Akan tetapi terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan. Sebagian PLTN yang beroperasi di dunia sekarang pada dasarnya ada dua kelompok berdasarkan generasinya. Kedua kelompok tersebut adalah PLTN lama (generasi 2) dan PLTN baru (generasi 3). Pada kedua kelompok tersebut, jenis reaktor yang dioperasikan sebagian besar adalah PWR, BWR dan PHWR.
Sistem keselamatan pada PLTN-PLTN tersebut sekalipun bervariasi dalam konfigurasinya, memiliki kemiripan, yaitu masih tergantung pada sistem suplai daya cadangan setelah shutdown (yaitu masih tergantung pada mesin diesel darurat). Dengan demikian, kegagalan mesin diesel akan menimbulkan konsekuensi yang mirip dengan PLTN Fukushima Daichi.
Hanya saja PLTN Fukushima merupakan PLTN generasi 2 yang awal (BWR 4), yang dibangun pada tahun 1970. Jenis BWR generasi 2 yang lebih banyak dioperasikan adalah jenis yang lebih baru (BWR 6). Jenis-jenis yang lebih baru, sekalipun masih termasuk generasi 2 telah mengalami perbaikan dibandingkan dengan jenis sebelumnya, diantaranya adalah ukuran pengungkung (containment) yang lebih besar. Sementara itu, di Amerika Serikat, yang juga banyak mengoperasikan PLTN generasi 2, telah diterapkan prosedur safeguard tambahan yang memungkinkan operator mendinginkan teras dalam kondisi tanpa back up daya (berdasarkan sumber dari ANS / American Nuclear Society).
Pada PLTN generasi berikutnya (generasi 3), kehandalan ditingkatkan. Mesin diesel cadangan ditempatkan dalam kompleks bangunan nuklir (nuclear Islands) untuk mendapatkan proteksi sebagaimana komponen nuklir. Hal ini akan mengurangi peluang kegagalan mesin diesel. Untuk jenis BWR, dikenal reaktor jenis ABWR (Advanced Boiling Water Reactor).
PLTN Onagawa yang dibangun setelah tahun 1980-an dan berada lebih dekat dengan episentrum gempa tidak mengalami masalah. Hal ini merupakan bukti bahwa teknologi PLTN telah mengalami penyempurnaan sehingga kelemahan pada desain PLTN generasi sebelumnya dapat diatasi.
[Catatan: tidak semua BWR pasca 80-an adalah ABWR. Lihat tabel terlampir.]
PLTN yang akan dibangun di Indonesia adalah PLTN generasi 3 .
Desain reaktor nuklir berikutnya
Desain reaktor nuklir berikutnya lebih dikenal generasi 3+. Sistem keselamatan pada desain reaktor generasi 3+ dirancang untuk tidak lagi tergantung pada suplai daya listrik cadangan. Dengan demikian, desain reaktor nuklir generasi  tidak memerlukan mesin diesel cadangan.
Pada desain reaktor nuklir generasi 3+, pendinginan teras setelah shutdown sepenuhnya menggunakan sirkulasi alam. Untuk jenis BWR, telah dikembangkan SBWR (Simplified Boiling Water Reactor) yang menggunakan sirkulasi alam untuk mensirkulasikan pendingin dalam kondisi operasi normal maupun setelah reaktor dimatikan.
Untuk jenis PWR, telah dikembangkan jenis AP (Advanced Passive). Pendinginan teras dalam kondisi operasi normal masih menggunakan pompa. Akan tetapi pendinginan teras setelah reaktor dimatikan sepenuhnya menggunakan sirkulasi alam.
Dengan demikian, jenis SBWR dan AP tidak memerlukan mesin diesel darurat. Sirkulasi alam merupakan fenomena alam yang secara empirik selalu terjadi. Peluang kegagalan pendinginan dengan demikian menjadi sangat kecil.
Tabel PLTN di dunia, sumber:www.iaea.org

Meski Berisiko, Energi Nuklir Tetap Diperlukan

YOGYAKARTA- Pada hari Jumat, 11 Maret 2011, terjadi gempa dengan skala 8,9 pada skala Richter di Jepang. Gempa telah memicu kegagalan sistem pendinginan pada PLTN Fukushima Daichi di negara tersebut. Selanjutnya, terjadilah ledakan hingga penyebaran material radioaktif ke lingkungan sekitar. Dengan terjadinya peristiwa tersebut diakui menjadi pukulan bagi industri nuklir dunia. Jerman dilaporkan menghentikan sementara operasi PLTN-nya untuk dilakukan evaluasi sistem keselamatan setelah menuai protes.
Pakar nuklir dari Jurusan Teknik Fisika UGM, Dr. Ir. Andang Widi Harto, M.T., menuturkan pada prinsipnya sistem keselamatan pada PLTN-PLTN itu sekalipun bervariasi dalam konfigurasi, tetap memiliki kemiripan, yakni masih tergantung pada sistem suplai daya cadangan setelah shutdown (masih tergantung pada mesin diesel darurat). "Dengan demikian, kegagalan mesin diesel akan menimbulkan konsekuensi yang mirip dengan PLTN Fukushima Daichi," ujar Andang kepada wartawan di Ruang Stana Parahita, Selasa (22/3). Dalam kesempatan tersebut, Andang didampingi oleh tim dari Jurusan Teknik Fisika UGM lainnya, yakni Dr.Ing. Sihana, Dr.Ing. Kusnanto, Ir. Anung Muharini, M.T., Ir. Haryono Budi Santosa, dan Ir. Susetyo Hario Putero, M.Eng.
Andang menambahkan PLTN Fukushima merupakan PLTN generasi 2 yang awal (BWR 4), yang dibangun pada tahun 1970. Jenis BWR generasi 2 yang lebih banyak dioperasikan adalah jenis yang lebih baru (BWR). Jenis-jenis yang lebih baru, sekalipun masih termasuk generasi 2, telah mengalami perbaikan dibandingkan dengan jenis sebelumnya, di antaranya ialah ukuran pengukung (containment) yang lebih besar. "Di AS, misalnya, yang juga banyak mengoperasikan PLTN generasi 2, telah diterapkan prosedur safeguard tambahan yang memungkinkan operator mendinginkan teras dalam kondisi tanpa back up daya," terangnya.
Pada kasus Fukushima, ledakan yang terjadi merupakan reaksi kimia antara hidrogen dan oksigen, bukan ledakan nuklir. Hal ini ditandai dengan rendahnya tingkat radiasi yang dilepaskan, sangat berbeda dengan ledakan bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Ledakan kimia hidrogen ini tidak sekuat ledakan uap pada reaktor Chernobyl. "Nah, pada reaktor Fukushima hanya melemparkan atap dan dinding gedung, sementara kerangka baja gedung masih utuh," kata Andang.
Dalam pandangannya, kasus Fukushima terjadi di antara lay out mesin diesel yang ditempatkan secara integral. Seharusnya, enam unit PLTN yang tersedia memiliki mesin diesel masing-masing. Di samping itu, lokasi PLTN yang dibangun sebaiknya berada pada lokasi yang relatif lebih tinggi. "Soal penempatan lay out mesin diesel ini perlu dilakukan agar sistem keselamatan tidak gagal ketika terjadi kerusakan atau mesin diesel gagal," tuturnya.
Keberadaan PLTN, khususnya di Indonesia, menurut Andang masih cukup dibutuhkan. Apalagi dengan melihat kebutuhan energi yang masih belum memadai dan merata di seluruh wilayah. Saat ini, energi yang tersedia di Indonesia mencapai 30 ribu megawatt. Dengan kondisi ini, sekitar 60% daerah di Indonesia belum dapat terkoneksi dengan jaringan listrik. Padahal, di tahun 2025 diperkirakan kebutuhan energi kita mencapai 100%.
Kekurangan energi yang masih cukup banyak, terutama listrik, tidak cukup dipasok dari beberapa energi alternatif, seperti panas bumi, makrohidropower, ataupun sel surya. PLTN adalah salah satu solusi untuk dapat menciptakan energi yang cukup besar hingga mencapai 1000 megawatt. Dengan demikian, PLTN sebagai pemasok energi masih sangat dibutuhkan keberadaannya di Indonesia. (Humas UGM/Satria AN)

Sumber tulisan : http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=3579

PEMBELAJARAN DARI KEJADIAN PLTN FUKUSHIMA DAN URGENSI PEMBANGUNAN PLTN DI INDONESIA

Sore ini, di temani hujan deras di wilayah Kampus Teknik UGM, diadakan sebuah kajiang dengan tema yang sangat ramai diperbincangkan orang, bukan masalah politik, ekonomi, hukum, social, budaya, atau isu isu lainnya yang sering kita lihat di televisi, juga bukan isu tentang gayus lho. Hehehe

Ditemani derasnya hujan, kajian tersebut dimulai, dengan tema Menyibak Fakta di balik Ledakan PLTN Fukushima dan Urgensi pembangunan PLTN di Indonesia. Dua tema pokok dalam kajian tersebut akan saya angkat dalam tulisan kali ini.

Menarik memang kedua isu tersebut. Saya menyebut isu, karena memang selama ini tidak ada informasi jelas mengenai dua hal tersebut, hehehe.

Entah karena menariknya tema yang diangkat atau karena memang selama ini kita terus bertanya tanya tentang PLTN di Jepang pasca gempa dan tsunami atau karena apa, kajian tersebut ramai didatangi orang, saya sih sempat berfikir ramai karena hujan deras, sehingga membuat mahasiswa enggan untuk pulang dan akhirnya menyimak kajian tersebut, hehehe.

Isi tulisan ini, dimulai dari fakta yang terjadi di Lapangan tentang PLTN Fukushima di Jepang pasca gempa dan tsunami. Diskusi tersbut dibuka oleh Dr.Ir. Andang Widi Harto, MT yang merupakan dosen Teknik Nuklir UGM dan pakar nuklir Indonesia. Diskusi berlangsung menarik dan cukup untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di PLTN Fukushima yang selama ini simpang siur.
Pada dasarnya, di daerah timur Jepang terdapat 4 lokasi PLTN, masing masing di Onogawa, Fukushima daichi, Fukushima Daini, dan Tokodaini dari keempat lokasi PLTN tersebut, letak PLTN yang paling dekat dengan pusat gempa yakni Onogawa yang terdapat 4 reaktor PLTN. Hingga tulisan ini saya buat, dan berdasarkan uraian dari pembicara Dr.Andang tidak ada kerusakan dalam PLTN di Onogawa.

Sedangkan di Fukushima Daichi, yang sekarang sedang dalam proses penanganan dan ramai diperbincangkan, menurut beliau ada 6 reaktor PLTN. Jika kita melihat peta, PLTN di Fukushima daichi, terletak di bukit, yang kira kira setinggi 20 meter diatas permukaan laut, dan tinggi reactor berkisar 50 meter.  Sebelumnya saya jelaskan bahwa jenis PLTN di Fukushima Daichi merupakan jenis reactor BWR (Boiling Water Reactor). Reaktor jenis ini dibangun diakhir tahun 60an dan beroperasi tahun 70an, dengan masa operasi 40 tahun. Nah saat gempa terjadi, praktis batang kendali reactor berhenti, batang kendali ini merupakan penyerap neutron, dan secara otomatis akan naik keatas, reaksi nuklir berhenti, dan aspek ini sesuai dengan SOP dalam PLTN di dunia. Meskipun reaksi nuklir berhenti, masih terdapat 7% sisa peluruhan radioaktif, untuk PLTN di Fukushima yang berdaya 1500MW,  masih terdapat 7% dari 1500 MW atau berkisar 107 MW yang masih meluruh. Jika nilai ini dibandingkan dengan reactor nuklir riset di Indonesia yang terletak di Serpong Tanggerang, GA Siwabessy hanya 30 MW. Dalam kondisi semacam ini maka salah satu sistem pendinginan yang disebut dengan RHRS (Residual Heat Removal System)  akan mulai beroperasi (aspek ”Cool”). RHRS ini berfungsi untuk mengalirkan air pendingin ke dalam reaktor sehingga bahan bakar tidak menjadi terlalu panas. Karena Fukushima adalah reaktor buatan tahun 60-an, kemungkinan sistem RHRS ini berfungsi secara AKTIF. Artinya untuk mengalirkan pendingin diperlukan pompa yang jelas membutuhkan energi listrik.  Sistem ini kenyataannya berfungsi. Akan tetapi sekitar satu jam kemudian, generator listrik cadangan untuk menjalankan pompa tidak berfungsi karena ada tsunami. Akibatnya aliran pendingin menjadi tidak efektif. Akibatnya lagi panas yang dihasilkan di bahan bakar akibat peluruhan radioaktif tidak bisa ditransfer ke pendingin dengan baik dan menyebabkan naiknya temperatur bahan bakar dan pendingin. Ada dua fenomena yang kemudian dapat terjadi. Pertama, dengan naiknya suhu pendingin, ada kemungkinan terjadi proses penguapan/pendidihan jika suhu pendingin melebihi titik saturasinya. Jika proses ini berkelanjutan, akibatnya adalah bagian atas dari reaktor menjadi tidak tertutupi cairan, akan tetapi uap air. Jika telah terjadi kondisi semacam ini, maka kemungkinan terjadinya pelelehan bahan bakar menjadi besar. Jika bahan bakar meleleh, maka material radioaktif yang tadinya ada di bahan bakar akan ikut terlepas ke sistem pendingin. Kedua, seiring dengan naiknya suhu bahan bakar, suhu selongsong juga ikut naik. (Selongsong adalah material yang membungkus bahan bakar, terbuat dari paduan logam Zirkonium). Dalam kondisi normal suhu selongsong berkisar antara 330-350 derajat Celsius. Akan tetapi, pada suhu yang tinggi di atas 900 derajat Celsius, zirkonium akan mengalami oksidasi karena beraksi dengan air pendingin.

Zr + 2 H2O –> ZrO2 + 2 H2

Dari reaksi tersebut, terlihat bahwa akan dihasilkan gas hidrogen. Laju reaksi pembentukan hidrogen ini sangat tergantung dari suhu, semakin tinggi suhu, semakin banyak hidrogen yang dihasilkan. Jadi di sini ada dua jenis material berbentuk gas yang kemungkinan terbentuk, yaitu uap air dan hidrogen. Oleh karena itu, tekanan di dalam reaktor akan semakin meningkat (pressurization). Tekanan yang terlalu besar akan membahayakan integritas struktur reaktor. Oleh karena itu, operator Fukushima melakukan venting, atau membuka PRV (pressure relieve valve, katup penurun tekanan) dengan harapan tekanan di reaktor berkurang. Dengan proses venting ini, maka baik uap air maupun hidrogen akan terakumulasi di antara sungkup reaktor (terbuat dari baja) dan bangunan reaktor (beton). Hal tersebut terjadi di reactor 1 dan 3 yang atap reaktornya rusak.



Sedangkan yang terjadi di reactor 4, berbeda. Sebelum terjadi gempa dan tsunami, sedang perbaikan, sehingga reactor tidak terdapat bahan bakar atau isinya. Ketika tidak ada air, zirkonium yang merupakan bahan selongsong bahan bakar berekasi dengan udara, yang memicu pemanasan air dibawahnya sehingga menjadi uap, yang uap tersebut mengenai zirkonium yang belm reaksi, reaksi tersebut memicu terjadinya kebakaran di unit 4.

Dari serangkaian permasalahn yang terjadi di dalam PLTN Fukushima daichi, terdapat kesalahan design pembangunan PLTN, pertama peletakan mesin diesel yang lebih rendah dibawah permukaan laut, posisi ini lebih rendah dibanding letak reaktornya, sehingga saat terjadi tsunami, desiel tersebut terendam air tsunami yang menyebabkan mesin diesel mati dan tidak bisa bekerja untuk mendinginkan teras reactor yang terjadi peluruhan bahan bakar radioaktif. Sedangkan bangunan sendiri telah didesign dengan standar tahan gempa hingga 9 SR. Hal tersebut tampak, tidak ada kerusakan berarti dari bangunan reactor meskipun terjadi gempa dengan skala 9 SR. Kesalahan design tersebut yang akhirnya dibayar mahal oleh otoritas nuklir di Jepang.

Selanjutnya, banyak orang juga berfikir, apakah yang terjadi di Fukushima ini akan seperti yang terjadi di Chernobyl Rusia, tahun 1986, yang menyebabkan seluruh masyarakat dunia yang awam ketakutan.

Menurut beliau, kondisi antara  yang terjadi di Fukushima dan Chernobyl sangat berbeda. Dalam sisitem PLTN, terdapat beberapa komponen, salah satunya moderator, nah yang terdapat di Chernobyl, moderatornya merupakan Grafit dan Air. Pada dasarnya, secara teori, paduan grafit dan air sangat dilarang dalam teknologi nuklir, karena reaksi grafit dan air sangat reaktif. Pada Chernobyl, PLTN di design semakin panas semakin kuat dan bertenaga, kondisi ini juga sangat tidak disarankan dalam PLTN, untuk Fukushima didesign makin panas, makin tidak bertenaga. Saat terjadi ledakan di Chernobyl, reactor tidak dimatikan atau dishut down, ini tidak sesuai SOP pengoperasian PLTN. Akibatnya separuh bahan bakar nuklir di reactor keluar dan terbang keatas yang menyebabkan radiasi tinggi, separuh bahan bakar lagi meleleh ke tanah, yang menyebabkan radiasi berkepanjangan. Sedangkan di fukushima tidak sampai terjadi bahan bakar yang meleleh ambles kedalam tanah dan terbang keluar yang menyebabkan radiasi tinggi, yang terjadi hanya kebocoran radiasi akibat shutdownnya reaksi, dan keterlambatan suplai air pendingin.

Dibagian sesi kedua dari tulisan ini, akan dibahas seputar perkembangan teknologi nuklir di Indonesia, informasi ini sangat diperlukan, mengingat bangsa kita ini sebuah bangsa yang besar. Perkembangan nuklir dimulai saat terjadi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, yang akhirnya membuat Indonesia merdeka dari Jepang.

Nuklir sendiri telah dikenalkan di Universitas – Universitas di Indonesia, melalui program studi Fisika Atom, Kimia inti, dan sejak tahun 1977 telah ada Teknik Nuklir di UGM, yang dengan serius mendalami ilmu kenukliran secara teknik. Tidak hanya itu, terdapat pula 2 badan nuklir di Indonesia yang secara independen mengkaji dan meneliti nuklir BATAN dan BAPETEN, yang langsung berada di jalur komando Presiden RI.

Sekilas, konsumsi energy listrik di Indonesi mencapai nilai 30 Ribu MW, dan konsumsi energy yang besar tersebut masih dirasakan 60 % penduduk di Indonesia, masih sering kita melihat masyarakat pelosok Indonesia, khusunya diwilayah timur Indonesia, masih belum bisa menikmati listrik. Diperkirakan, konsumsi listrik Indonesia terus mengalami kenaikan, ini didukung pula oleh kebijakan pemerintah jangka panjang, demi mensukseskan 5 besar kekuatan ekonomi dunia ditahun 2025. Tentunya untuk mewujudkan nilai tersebut, industrialisasi di Indonesia terus digerakkan, konsumsi listrik tentu juga akan meningkat, selama ini kita ketahui bahwa, kita masih mengandalkan ekspor SDA sebagai bahan baku, masih belum bisa mengandalkan ekspor barang jadi yang lebih bernilai secara ekonomi. Demi mewujudkan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, maka di pemerintah menggenjot sector industry untuk bisa memproduksi barang jadi yang lebih bernilai ekonomi.

Dengan rencana tersebut, diperkirakan Indonesia membutuhkan konsumsi listrik mencapai 100 Ribu MW, konsumsi listrik Indonesia saat ini sekitar 30 Ribu MW. Untuk mengurangi defisit konsumsi listrik tersebut, diperlukan sumber sumber energy alternative di Indonesia, beragam sumber energy listrik dikembangkan. Mulai dari, batu bara, minyak dan gas alam, geothermal, angin, air, matahari, hingga biomass.

Sekarang, kalkulasi tiap potensi dari sumber sumber energy tersebut. Batu bara, minya dan gas alam, diprediksi mampu bertahan hingga 20-25 tahun kedepan. Geothermal mempunyai potensi eksplorasi 20 Ribu MW, Angin mempunyai potensi ekplorasi 10         Ribu MW, Air mempunyai potensi eksplorasi 70 Ribu MW, Biomass, mempunyai potensi 20 Ribu MW. Dari potensi energy alternative tersebut, yang bisa tereksplorasi hingga tahun 2025 hanya mencapai 30% dari total potensi yang ada, ini sangat dimungkinkan, karena dalam sistem PLTU, hanya 30% efisiensi, dan ini juga wajar terjadi dalam teknik. Artinya sumber alternatif dari Geothermal hanya 6 ribu MW, Angin sekitar 3 ribu MW, Air sekitar 21 ribu MW, biomass, sekitar 6 ribu MW. Jika semua energy alternative tersebut dikalkulasi, berkisar antara 40 ribu MW. Nilai tersebut masih belum mencukupi kebutuhan listrik yang deficit 70 ribu MW.

Pilihan dijatuhkan pada batu bara dan minyak bumi serta gas alam. Namun ketersediaan sumber energy tersebut dirasa hanya bisa dinikmati 20-25 tahun kedepan saja, karena cadangan minyak, gas, dan batu bara sudah menipis. Masih terdapat 2 alternatif jika kita tidak ingin menggunakan sumber energy minyak, gas dan batu bara. Sumber energy tersebut bisa berasal dari Nuklir atau membangun jaringan listrik interkoneksi se ASEAN.

Jika masyarakat,khawatir dengan pembangunan PLTN, maka pilihan terakhir adalah membangun jaringan listrik interkoneksi ASEAN. Konsep ini artinya, kita akan menyuplai listrik nasional dengan import listrik dari Negara tetangga seperti, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, atau Filiphina. Jika kita ketahui, Negara Negara tersebut, telah merancang pembangunan PLTN, nah jika di tahun 2025 kita memilih opsi pembangunan jaringan listrik interkoneksi, maka kita mengimport listrik dari Negara tetangga, dan bersumber dari PLTN juga. Hehehe.

Dari serangkaian cerita tersebut, cerita yang terungkap dari kajian bersama Dr. Ir. Andang Widi Harto, MT. Terdapat kesimpulan, bagaimana masyarakat, bangsa, dan Negara ini menyiapkan sumber untuk konsumsi listrik nasional, atau kita kembali ke zaman batu, tanpa listrik. Kalau kita juga membangun PLTN dan memilih opsi nuklir, maka tentu segala aspek keselamatan akan didahulukan, mulai pemilihan tempat PLTN yang bebas bencana alam, hingga design PLTN yang menggunakan PLTN jenis terbaru.

Sebuah kalimat terakhir dari beliau, Dr. Ir. Andang Widi Harto, MT. Nuklir dikenalkan kepada manusia dengan sisi negatifnya, melalui bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, sedangkan mobil, atau alat transportasi manusia, dikenalkan kepada manusia dari sisi positifnya.

Dari kalimat tersebut, ada makna terdalam yang ingin saya sampaikan, masyarakat tentu sudah cerdas, dan mulai berfikir mana yang terbaik, nuklir dikenalkan kepada manusia dari sisi negatifnya, dan inilah yang membuat manusia, berfikir dan berfikir, meneliti bagaimana supaya nuklir bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia, dengan tingkat keselamatan yang tinggi. Jika kita bandingkan, berapa korban tewas akibat nuklir dan berapa korban tewas akibat kecelakan mobil atau alat transportasi, tentu kita bisa mengambil keputusan dari peristiwa tersebut.

Kembali ke PLTN di Fukushima, hingga 2 minggu kejadian tersebut, belum satu orangpun diinformasikan meniggal dunia akibat radiasi nuklir Fukushima, sedangkan jika kita bandingkan selama 2 minggu ini, sudah berapa banyak orang meninggal dunia akibat kecelakan. Pembacalah yang bisa menilai.
Kembali ke masalah di Indonesia, sudah saatnya kita memiliki PLTN, tentu dengan keselamatan yang tinggi, karena ini tentunya untuk masyarakat, saya sepakat tidak ada satupun pakar nuklir, yang rela membangun PLTN dengan mengorbankan nyawa manusia, mereka terlah berjuang keras berfikir bagaimana caranya nuklir bisa bermanfaat dengan tingkat keselamatan yang tinggi.

Dengan kemajuan zaman, kemajuan teknologi, berkembangnya otak manusia, yang semakin cerdas, semakin pintar, kita harus percaya bahwa nuklir akan bisa dibangun dengan tingkat keselamatan yang tinggi. Kita harus menerima kenyataan tersebut, sebagai manusia yang dinamis, yang tidak statis. Tentunya, diluar itu semua, kecelakaan kecelekaan, tidak pernah bisa kita prediksi, namun hanya Tuhan YME yang menentukan, sebagai manusiapun seperti itu, kita tidak bisa menolak yang namanya resiko kegagalan PLTN, tapi kita memiminimalisir kegagalan PLTN. Bukankah prinsip itu yang selama ini kita jadikan pedoman hidup kita. Selanjutnya, terserah pembaca merespon seperti apa, bagaimana masyarakat menyikapi, takut terhadap nuklir atau dengan berfikir dinamis, menerima nuklir sebagai salah satu teknologi yang secara zaman berkembang pesat.

Semoga kejadian ini bisa membuat diri kita, bangsa Indonesia, dan masyarakat dunia belajar, dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Terima Kasih.

Alfian Nur Mujtahidin
*) Mahasiswa Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada



Saturday, March 12, 2011

Analisis sementara Fukushima-1

Tanggal 11 Maret 2011 terjadi gempa berskala besar dan tsunami yang melanda Jepang. Sehari kemudian terjadi ledakan pada PLTN Fukushima 1. Belum jelas apa yang terjadi sesungguhnya di sana. Menanggapi hal itu, Dr. Alexander Agung, ST., M.Sc (staf pengajar Jurusan Teknik Fisika yang saat ini turut dalam pengkajian keselamatan PLTN di Swedia) telah melakukan analisis sementara berdasarkan info yang diperoleh sampai saat ini dan kemungkinan bisa berubah seiring waktu.

Fukushima I unit 1 adalah PLTN bertipe BWR (Boiling Water Reactor) dengan daya listrik sebesar 460 MW (daya termal 1553 MW, dengan asumsi efisiensi termal 30%). Dibangun akhir tahun 60-an dan mulai mulai beroperasi tahun 1970.

Pada reaktor nuklir, energi dihasilkan dari reaksi fisi atau pembelahan inti atom. Ketika proses fisi berlangsung, dihasilkan pula produk-produk yang bersifat radioaktif dan oleh karenanya juga meluruh (berubah menjadi inti atom lain dengan memancarkan energi). Dengan demikian energi total yang terdapat pada reaktor nuklir adalah jumlahan dari energi fisi dan energi peluruhan radioaktif (sebenarnya masih ada juga energi dari bahan struktur, tetapi jumlahnya kecil). Ketika reaktor dioperasikan dalam waktu yang lama, terjadi kondisi setimbang (equilibrium), di mana energi dari peluruhan radioaktif menyumbang sekitar 6-7% dari total energi yang ada pada reaktor. Besar atau kecilnya energi yang dihasilkan dari reaksi fisi ditentukan dari banyak atau sedikitnya proses fisi yang terjadi, dan untuk mengendalikannya diperlukan batang pengendali (control rods). Jika semua batang kendali dimasukkan ke dalam reaktor, reaksi fisi akan berhenti berlangsung dan energi fisi tidak diproduksi. Dengan kata lain, reaktor menjadi padam (shutdown). Akan tetapi, perlu diingat, selain energi fisi masih terdapat energi peluruhan. Besarnya sekitar 6-7% di saat reaktor padam, akan tetapi besarnya akan berkurang seiring dengan waktu.  (untuk mhs teknik nuklir, cek buku ’Nuclear System 1’ by Todreas & Kazimi, halaman 67-68).

Salah satu perhatian utama pada aspek keselamatan nuklir adalah bagaimana menjaga agar bahan radioaktif tidak lolos ke lingkungan. Untuk itu, ada jargon yang terkenal yaitu 3C (Control, Cool and Contain). “Control” terkait dengan bagaimana mengoperasikan reactor sehingga tidak terjadi eksursi (peningkatan yang tajam) energi. ”Cool” berkaitan dengan upaya untuk selalu mendinginkan bahan bakar, dan “Contain” terkait dengan upaya untuk menjaga agar bahan radioaktif tetap berada di dalam reactor. Selama ketiga aspek ini masih berfungsi dengan baik, maka pelepasan radioaktivitas ke lingkungan adalah sangat minimal. Perlu diingat bahwa ketiga aspek tersebut bisa dianggap sebagai lapisan pertahanan. Jika reaktor tidak bisa dikendalikan (aspek Control), maka ada sistem proteksi yang membuat reaktor padam dan sistem pendinginan yang selalu mendinginkan bahan bakar (aspek Cool). Jika sistem pendinginan tidak berfungsi, maka masih ada pengungkung reaktor yang terbuat dari baja dan bangunan reaktor yang akan mencegah lepasnya bahan radioaktif ke lingkungan (aspek Contain).

Lalu bagaimana kaitannya dengan yang terjadi di Fukushima? Seperti telah diketahui, semuanya berawal dari gempa dan kemudian tsunami. Ketika gempa terjadi, sistem proteksi segera berfungsi yang kemudian memadamkan reaktor. Ini salah satu fitur yang perlu diacungi jempol. Pada saat itu, di dalam reaktor sudah tidak ada reaksi fisi. Akan tetapi masih ada energi dari peluruhan radioaktivitas, seperti yang saya sebutkan di atas. Pada saat reaktor padam, masih ada 7% dari 1533 MW dari peluruhan, atau sebesar 107 MW. Sebagai perbandingan, daya di reaktor GA Siwabessy di Serpong sebesar 30 MW. Dalam kondisi semacam ini maka salah satu sistem pendinginan yang disebut dengan RHRS (Residual Heat Removal System)  akan mulai beroperasi (aspek ”Cool”). RHRS ini berfungsi untuk mengalirkan air pendingin ke dalam reaktor sehingga bahan bakar tidak menjadi terlalu panas. Karena Fukushima adalah reaktor buatan tahun 60-an, kemungkinan sistem RHRS ini berfungsi secara AKTIF. Artinya untuk mengalirkan pendingin diperlukan pompa yang jelas membutuhkan energi listrik.  Sistem ini kenyataannya berfungsi. Akan tetapi sekitar satu jam kemudian, generator listrik cadangan untuk menjalankan pompa tidak berfungsi karena ada tsunami. Akibatnya aliran pendingin menjadi tidak efektif. Dalam jargon nuklir, situasi ini dikenal dengan istilah LOFA (Loss-of-Flow Accident), yaitu air pendingin tetap ada tetapi tidak mengalir. Akibatnya lagi panas yang dihasilkan di bahan bakar akibat peluruhan radioaktif tidak bisa ditransfer ke pendingin dengan baik dan menyebabkan naiknya temperatur bahan bakar dan pendingin. Ada dua fenomena yang kemudian dapat terjadi. Pertama, dengan naiknya suhu pendingin, ada kemungkinan terjadi proses penguapan/pendidihan jika suhu pendingin melebihi titik saturasinya. Jika proses ini berkelanjutan, akibatnya adalah bagian atas dari reaktor menjadi tidak tertutupi cairan, akan tetapi uap air. Jika telah terjadi kondisi semacam ini, maka kemungkinan terjadinya pelelehan bahan bakar menjadi besar. Jika bahan bakar meleleh, maka material radioaktif yang tadinya ada di bahan bakar akan ikut terlepas ke sistem pendingin. Di sinilah pentingnya aspek ”Contain”. Kedua, seiring dengan naiknya suhu bahan bakar, suhu selongsong juga ikut naik. (Selongsong adalah material yang membungkus bahan bakar, terbuat dari paduan logam Zirkonium). Dalam kondisi normal suhu selongsong berkisar antara 330-350 derajat Celsius. Akan tetapi, pada suhu yang tinggi di atas 900 derajat Celsius, zirkonium akan mengalami oksidasi karena beraksi dengan air pendingin.

Zr + 2 H2O –> ZrO2 + 2 H2

Dari reaksi tersebut, terlihat bahwa akan dihasilkan gas hidrogen. Laju reaksi pembentukan hidrogen ini sangat tergantung dari suhu, semakin tinggi suhu, semakin banyak hidrogen yang dihasilkan. Jadi di sini ada dua jenis material berbentuk gas yang kemungkinan terbentuk, yaitu uap air dan hidrogen. Oleh karena itu, tekanan di dalam reaktor akan semakin meningkat (pressurization). Tekanan yang terlalu besar akan membahayakan integritas struktur reaktor. Oleh karena itu, operator Fukushima melakukan venting, atau membuka PRV (pressure relieve valve, katup penurun tekanan) dengan harapan tekanan di reaktor berkurang. Dengan proses venting ini, maka baik uap air maupun hidrogen akan terakumulasi di antara sungkup reaktor (terbuat dari baja) dan bangunan reaktor (beton).

Sampai saat ini belum jelas apa yang terjadi sebenarnya, akan tetapi dugaan saya hidrogen yang terakumulasi tersebut mengalami reaksi dengan oksigen dan terjadi apa  yang disebut dengan hydrogen explosion. Inilah yang menyebabkan ”meledaknya” bangunan Fukushima 1 unit 1.

Berdasarkan press conference yang diadakan oleh pemerintah Jepang, dinyatakan bahwa pengungkung reaktor masih aman dan tingkat radioaktivitas menurun. Oleh karena itu saya menduga:
  1. Tidak ada core melt.
Mengingat peristiwa ini berlangsung sekitar 1 hari setelah gempa, maka panas peluruhan telah berkurang dari 7% menjadi 0,5% atau sekitar 7,5 MW.

2. Pelepasan radioaktivitas ke lingkungan sangat minimal karena pengungkung masih utuh dan hydrogen explosion terjadi di ruangan antara pengungkung dan bangunan reaktor

3. Saya ulangi lagi di sini:
  • Sistem proteksi berfungsi, terbukti reaktor padam ketika gempa terjadi.
  • Sistem RHR juga berfungsi, sampai dengan 1 jam ketika tsunami melanda. Panas peluruhan telah turun menjadi 2% atau 31 MW. Kejadian ini dapat dihindari seandainya sistem RHR menggunakan sistem PASIF, yang artinya untuk mendinginkan reaktor tidak lagi mengandalkan pompa, melainkan dengan memanfaatkan perpindahan panas konveksi alami. Dengan demikian, seandainya benar-benar terjadi station blackout, maka proses pendinginan tetap berlangsung. PLTN-PLTN generasi baru (gen III, dst) yang akan dibangun di beberapa negara (termasuk Indonesia???) sudah menggunakan sistem pasif ini.
  • Sistem pengungkung berfungsi, mengingat ledakan yang terjadi tidak mengganggu fungsi dan struktur pengungkung.
Dengan demikian aspek 3C (Control, Cool dan Contain) tetap berfungsi, meskipun dalam kondisi gempa yang parah. Akibatnya pelepasan radioaktivitas ke lingkungan adalah minimal.
Adapted form http://tf.ugm.ac.id/?p=2852

Sunday, February 20, 2011

Krisis Beras

NEGERI ini punya banyak ironi. Inilah negeri yang dikepung laut, tapi mengimpor garam. Inilah pula negara agraris yang mengimpor beras.

Bahkan, tahun ini Indonesia diperkirakan bakal mengimpor 1,75 juta ton beras dan menjadi negara pengimpor beras terbesar kedua dunia.

Perkiraan itu dibuat Kementerian Pertanian Amerika Serikat. Posisi Indonesia hanya satu tingkat di bawah Nigeria, salah satu negara rawan pangan di Afrika, yang tahun ini diperkirakan mengimpor 1,9 juta ton beras.

Kalau proyeksi itu benar, sepantasnya bangsa ini malu besar. Bukankah negeri ini negara agraris? Bukankah itu kemunduran karena pada 2008 dan 2009 Indonesia mampu memenuhi kebutuhan beras sendiri?

Ada banyak faktor dituding sebagai penyebab, antara lain menyusutnya lahan pertanian, meningkatnya permintaan, dan cuaca yang ekstrem.

Menyusutnya lahan pertanian jelas akibat tidak adanya kebijakan yang benar-benar berpihak kepada sektor pertanian. Sepanjang 2007-2010 saja sekitar 600 ribu hektare lahan pertanian beralih fungsi.

Di tengah krisis pangan dunia sekarang yang diperkirakan masih terus berlangsung, pemerintah tetap membiarkan lahan-lahan pertanian tergerus menjadi jalan tol. Untuk kebutuhan jalan tol Jakarta-Surabaya saja, sedikitnya 4.500 hektare sawah di Pulau Jawa bakal lenyap.

Pemerintah juga tidak berpihak kepada petani. Di tengah melambungnya harga pangan dunia yang rata-rata menanjak 15% dalam enam bulan terakhir, pemerintah justru berkeras mempertahankan harga pembelian beras. Petani sebagai produsen padi tidak mendapat keuntungan dari pasar karena pemerintah memihak kepada konsumen.

Jangan-jangan itu yang membuat petani lebih memilih menjadi buruh pabrik atau tukang ojek. Jumlah pekerja di sektor pertanian pada Agustus 2010 turun 1,34 juta orang apabila dibandingkan dengan enam bulan sebelumnya.

Mengendurnya program pengendalian jumlah penduduk menambah runyam persoalan beras.

Penduduk tumbuh 1,3%, sedangkan produksi padi hanya tumbuh 1%. Sebagai gambaran, setiap tahun jumlah penduduk Indonesia yang harus diberi makan nasi bertambah sebanyak penduduk Singapura.

Bila pemerintah tetap mengabaikan program keluarga berencana di satu pihak, dan di lain pihak juga tetap membiarkan perubahan fungsi lahan pertanian serta mengabaikan nasib petani, hanya soal waktu Indonesia menjadi pengimpor beras terbesar di jagat.

Terlebih lagi bila semua itu disertai pula dengan perubahan cuaca ekstrem yang berkepanjangan, Indonesia bahkan bisa terancam krisis beras.

Apalagi sudah ada alarm, di tengah ancaman krisis pangan global, negara-negara produsen utama beras bakal memproteksi ketahanan pangan negara mereka sendiri dengan menahan ekspor komoditas mereka.

Tidak mudah memberi makan 237 juta perut. Bila perut rakyat kosong, sia-sialah membela stabilitas politik. Karena itu, pemerintah jangan anggap enteng masalah beras dengan kebijakan gampangan main impor. 
Source : Editorial MI (21 Februari 2011)

MAU DIBAWA KEMANA?


Tulisan ini sebagai refleksi saya, saya sebagai generasi muda Indonesia. Saya sebagai pemimpin masa depan Indonesia, dan tidak muluk muluk pemimpin bagi diri saya sendiri.

Jujur saya tidak sempurna, tidak selalu melaksanakan kebaikan, melaksanakan kebenaran, banyak salah yang saya lakukan, dan masih terlalu banyak.

Namun, semangat saya untuk melaksanakan perubahan selalu saya tegakkan, saya selalu mencoba merubah, merubah, dan merubah. Perubahan untuk menjadi lebih baik, baik, dan baik.

Saya prihatin dengan kondisi ini, kondisi sekarang, saat ini yang terjadi, diri saya ingin berontak sebenarnya, namun toh percuma berontakan saya tidak akan pernah dipedulikan, karena saya pikir kalian semua menganggap saya ‘gila’.

Saya ingin kita hidup damai, saya ingin kita tidak dengan mudah meneteskan darah. Saya tidak ingin pertiwi ini menangis, mengangis bukan karena pertiwi ini sedang terkena bencana, tapi mungkin iya terkena bencana. Bencana nasional, bencana kerukunan, bencana seolah tidak nilai luhur pertiwi ini diinjak - injak, dicemooh, di hujat, dan seenaknya dilanggar.

Kalau saya ingin berontak, saya ingin kembali seperti dulu, kembali pertiwi ini seperti dulu, saya tidak ingin kita sebagai bangsa ini, saling pukul - memukul, saling lawan -  melawan, dan saling ricuh - mericuh. Maafkan kata - kata saya yang tidak EYD. Tulisan ini rasa emonsional saya terhadap kondisi bangsa ini. Kalau saya mau jujur, saya ingin melakukan perubahan, menyadarkan semuanya, menyadarkan bahwa kita seperti orang bego, orang yang tolol yang gag pernah punya akal, yang selalu menggunakan okol untuk menyelesaikan masalah, mana bukti kalau kita Negara pancasila, menjunjung tinggi nilai pancasila, mana rasa itu? Mana sikap itu? Mungkin saya tidak seuutuhnya menjalankan itu, tapi keadaan sekarang rasanya sulit menegakkan nilai pancasila.

6 bulan yang lalu, saya masih optimis bahwa kita masih menjunjung ke-Pancasila-an. Bahkan desember tahun lalu, saya makin optimis bahwa negeri ini akan bangkit, bagaimana melihat orang semua berjuang mati - matian demi Indonesia. Tapi akhir akhir ini, rasa optimis saya kembali mengecil, saya tidak berani mengatakan itu semua.

Kejadian, di Banten, Temanggung, dan Pasuruan, cukup mencoret rasa itu. Bahkan muncul lagi kejadian di Nusa Tenggara. Mereka beringas, saling memangsa, saling memukul, menghujat, mencemooh. Tidak cukupkah musyawarah hingga itu terjadi, atau mereka tidak mengerti dan mengenal musyawarah.

Refleksi saya, tulisan ini ingin saya tujukan kepada bapak Presiden yang saya kagumi, saya hormati, saya junjung, saya banggakan, kebanggaan saya kepada bapak tidak pernah pudar, rasa salut saya tidak pernah pudar sedikitpun. Saya yakin, saya yakin bapak bisa, seperti dulu bapak menyakinkan saya dengan kata - kata BISA!

Kembalikan Negara ini ke jalur yang telah dibuat dengan susah payah oleh para pejuang bangsa ini yang rela darahnya menetes demi INDONESIA, yang rela hartanya dirampas demi INDONESIA. Saya yakin bapak juga seperti itu. Saya 1000% yakin. Tolong keyakinan saya, dan saya yakin keyakinan 250 juta penduduk Indonesia tidak disia siakan.

Refleksi ini mungkin cukup “gila” tapi sebagai generasi muda, saya tidak ingin melihat ini, apa jadinya jika kita terus terusan dipertontonkan dengan adegan ini, tiap saya menyalakan televisi, selalu berita yang dimuat, kekerasan antar orang Indonesia. Saya pribadi sangat prihatin. Bapak bisa melakukan perubahan, bapak punya segalanya, dan bapak punya wewenang untuk itu.

Kembalikan lagi Negara ini ke Negara pancasila, Negara pancasila, PANCASILA! Jangan sia - siakan para pahlawan kita menangis, karena kita mempertahankan itu sulit bapak. Saya ingin melihat Indonesia saling bahu - membahu, seperti dulu yang saya dapatkan masa SD, gotong - royong, toleransi, sikap tolong - menolong. Bukan seperti ini yang dipertotonkan, saling kuat dan adu jotos.

Dan yang parah lagi, sikap itu tidak “hanya” dimiliki oleh rakyat yang tidak mengerti apa apa, bahkan sering dilihatkan oleh public figure kita, baik pejabat public maupun artis. Tidak heran kalau kita tidak kunjung maju dengan pesat. Kalau kita masih punya sikap seperti ini, sikap anarkitisme. Bukan lembaga yang salah bapak, bukan ormas yang salah. Tapi kedewasaan kita yang salah.

Saya Cuma ingin mengatakan satu tulisan dari sebuah judul lagu, MAU DIBAWA KEMANA? Mau dibawa kemana negeriku tercinta ini. Saya sangat merindukan kedamaian, gemah ripah loh jinawi.

Selesai.
*Alfian Nur Mujtahidin (Mahasiswa Teknik Fisika UGM)

Sunday, January 16, 2011

Beban Rakyat semakin Berat

JANJI mewujudkan kesejahteraan rakyat selalu digemakan setiap rezim di negeri ini. Bahkan, umur janji itu sudah setua usia Republik.

Namun, faktanya, jalan menuju kesejahteraan bukannya kian mulus, malah makin terjal. Jika di awal negara ini berdiri banyak warga makan tiwul karena tidak sanggup membeli beras, kini fakta serupa masih juga terjadi.

Jumlah penduduk miskin pun hingga kini masih sangat banyak. Menurut ukuran pemerintah sekitar 30 juta orang. Bila angka kemiskinan memakai ukuran Bank Dunia, jumlahnya menjadi tiga kali lebih besar, yaitu sekitar 100 juta jiwa.

Di atas kertas, ekonomi memang tumbuh. Namun, di alam nyata, pertumbuhan nyaris tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan.

Tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat tidak berubah signifikan. Hal itu tecermin dari rasio Gini, sebuah rasio yang mengukur ketimpangan pendapatan penduduk secara menyeluruh.

Data Indef menunjukkan dalam lima tahun terakhir rasio Gini hanya turun 0,012, dari 0,343 pada 2005 menjadi 0,331 pada 2010. Rasio Gini membentang dari 0 sampai 1. Nol menunjukkan pemerataan, sedangkan 1 melambangkan ketimpangan.

Kini, di tengah kian menjauhnya jalan menuju kesejahteraan, rakyat bawah yang jumlahnya mayoritas malah diimpit beban yang semakin berat akibat kenaikan harga pangan dan komoditas lainnya. Harga beras masih bertengger di Rp7.400-an, jauh di atas harga normal yang sekitar Rp5.000.

Harga cabai, pekan lalu, masih sekitar Rp45 ribu per kilogram. Hanya dalam dua pekan harga cabai terkerek hingga 40% karena dua minggu sebelumnya masih di kisaran Rp32 ribu. Bahkan, harganya pernah mencapai Rp100 ribu per kilogram.

Sepanjang 2010, harga beras naik rata-rata 18%. Kenaikan itu dua kali lipat jika dibandingkan dengan rata-rata kenaikan pada 2009 yang mencapai 9%.

Impitan hidup bakal bertambah jika kalangan industri benar-benar merealisasikan ancaman mereka untuk mem-PHK buruh. Ancaman yang sulit dihindari karena beban usaha juga kian berat akibat naiknya tarif listrik untuk industri dan pemberlakuan bea masuk barang impor untuk bahan baku.

Karena itu, tidak mengherankan jika frustrasi sosial meningkat. Ada pasangan suami-istri bunuh diri dengan meninggalkan empat anak mereka karena sudah tidak sanggup lagi menahan beban ekonomi.

Banyak yang mengganti beras dengan tiwul dan makanan lainnya yang kurang memenuhi standar gizi, asal perut sedikit terganjal.

Itulah fakta yang tidak boleh ditutup-tutupi. Negara juga jangan cuma terus memproduksi harapan semu dengan menyebut pendapatan per kapita rakyat kita sudah menuju US$3.000 atau sekitar Rp27 juta per tahun. Namun, sudahkah pemerintah melihat dan mendengar dengan betul, berapa banyak rakyat kita yang berpenghasilan sebesar itu?

Negara tidak boleh absen mengurus rakyat. Agar janji kesejahteraan makin mendekati bukti. Agar tidak terjadi pecah kongsi antara janji dan realisasi. 
Source : Editorial MI (17 Januari 2011)