Hari Selasa 22 Maret 2011, Jurusan Teknik Fisika FT UGM mengadakan konferensi pers mengenai peristiwa Kecelakaan PLTN di Fukushima, Jepang dengan harapan untuk memberikan informasi yang obyektif kepada masyarakat.
Adapun draft PRESS RELEASE adalah sebagai berikut.
Pendahuluan
Pada hari Jumat 11 Maret 2011, telah terjadi gempa dengan skala 8,9 pada skala Richter. Gempa tersebut telah memicu kegagalan sistem pendinginan pada PLTN Fukushima Daichi. Selanjutnya terjadilah peristiwa sebagaimana yang telah kita lihat dari berbagai pemberitaan seperti terjadinya ledakan hingga penyebaran material radioaktif ke lingkungan.
Uraian singkat tentang PLTN Fukushima Daichi
PLTN Fukushima Daichi termasuk PLTN jenis BWR (Boiling Water Reactor). Pada PLTN jenis BWR, teras reaktor langsung digunakan untuk mendidihkan air menjadi uap.
Aspek penting yang perlu dijelaskan secara singkat adalah tentang PLTN tersebut adalah :
- Teras dan bejana reaktor
- Sistem pendinginan pada operasi normal
- Sistem pendinginan pasca shutdown
Teras dan bejana reaktor
Bagian utama PLTN adalah teras reaktor yang terletak di dalam bejana reaktor. Teras reaktor merupakan susunan bahan bakar nuklir. Bahan bakar nuklir adalah uranium diperkaya dalam bentuk UO2 keramik. Bahan bakar tersebut berbentuk pelet dan dimasukkan dalam kelongsong zirkonium alloy menjadi batang bahan bakar.
Batang bahan bakar selanjutnya disusun menjadi perangkat bahan bakar. Dan akhirnya perangkat bahan bakar disusun menjadi teras reaktor. Air pendingin dialirkan di sela-sela batang bahan bakar.
Sistem pendinginan pada operasi normal
Secara singkat aliran air adalah sebagai berikut. Air yang telah didemineralisasi dipompakan oleh pompa umpan masuk ke bejana reaktor. Air ini mengambil kalor dari batang-batang bahan bakar nuklir dan berubah menjadi campuran uap dan air.
Pada bagian atas bejana, terdapat pemisah uap. Uap dipisahkan dari air dan air dikembalikan ke bejana dengan menggunakan pompa sirkulasi. Uap air selanjutnya dialirkan ke turbin dan memutar turbin. Turbin dihubungkan dengan generator listrik dan menghasilkan listrik.
Uap setelah keluar dari turbin selanjutnya diembunkan pada kondenser menjadi air. Air ini kemudian dipompakan kembali ke bejana reaktor. Demikian seterusnya sehingga terjadi siklus air dari bejana reaktor, turbin, kondenser, pompa umpan dan kembali ke bejana reaktor.
Pada sistem ini, diperlukan suplai daya listrik untuk menggerakkan pompa umpan, pompa sirkulasi reaktor dan pompa pendingin kondenser. Daya listrik ini diperoleh dari generator PLTN itu sendiri.
Sistem pendinginan pasca shutdown
Setelah reaktor dimatikan, masih terdapat pembangkitan kalor akibat peluruhan radioaktif dari produk fisi. Dibandingkan dengan pembangkitan kalor pada operasi normal, pembangkitan kalor peluruhan ini relatif kecil. Pada beberapa saat setelah shutdown, pembangkitan kalor tersebut sekitar 7 % dari daya normal. Selanjutnya pembangkitan kalor ini terus mengalami penurunan. Sekalipun demikian, tetap diperlukan pendinginan untuk mencegah kerusakan susunan bahan bakar dalam teras akibat overheating.
Catatan: 7% ketika padam, setelah 1 menit turun jadi 3,2%.
PLTN Fukushima Daichi termasuk jenis BWR 3, BWR-4, BWR-5, yang terkategori sebagai PLTN generasi 2 (PLTN yang dibuat sebelum tahun 1980-an). PLTN generasi 2 pada umumnya masih menggunakan sistem keselamatan aktif, yaitu memerlukan sumber tenaga darurat setelah dimatikan.
Setelah reaktor dimatikan, sistem pendinginan normal masih bisa difungsikan selama beberapa saat. Uap yang terbentuk tidak dialirkan ke turbin tetapi langsung ke kondenser untuk diembunkan. Air yang terbentuk dipompakan ke bejana reaktor. Untuk ini, diperlukan suplai listrik untuk menggerakkan pompa air umpan dan pompa pendingin kondenser. Akan tetapi karena turbin tidak bekerja, maka suplai daya listrik ini tidak dapat diambil dari generator PLTN. Dengan demikian harus ada pembangkit listrik yang berupa mesin diesel darurat.
Karena pembangkitan kalor semakin menurun, maka uap yang terbentuk tidak mencukupi untuk penggunaan sistem pendingin normal. Pendinginan selanjutnya diambil alih oleh sistem pendinginan pasca shutdown (setelah pemadaman).
Pada desain BWR-3, BWR-4 dan BWR-5, bejana reaktor berada di dalam pengungkung yang terbuat dari baja dengan dilindungi beton. Di bagian bawah dari bejana pengungkung terdapat kolam supresi tekanan yang tidak lain adalah kondenser. Pada kolam ini, air pendingin harus dapat dialirkan melalui pipa-pipa kondenser di dalam kolam supresi.
Setelah reaktor mati dan pendinginan dengan jalur operasi normal tidak dapat difungsikan, maka digunakan jalur operasi pasca pemadaman. Uap dari bejana reaktor dilepaskan ke pengungkung (dry well), selanjutnya masuk ke kolam supresi. Ketika menyentuh pipa-pipa kondenser kolam supresi, uap ini akan mengembun dan menjadi air. Air selanjutnya dipompakan kembali ke bejana reaktor.
Demikian seterusnya sehingga kalor dari teras reaktor dapat dibuang melalui kondenser pada kolam supresi untuk jangka waktu cukup lama hingga pembangkitan kalor menjadi cukup kecil untuk mampu merusak teras. Selama sistem pendinginan pasca shutdown ini berjalan normal, maka tidak akan terjadi overheating dan susunan bahan bakar tidak mengalami kerusakan.
Akan tetapi sistem pendingin pasca shutdown ini memerlukan suplai daya listrik untuk menggerakkan pompa sirkulasi pendingin dan pompa pendinginan kondenser kolam supresi.
Dan juga karena turbin tidak bekerja, maka suplai daya listrik ini tidak dapat diambil dari generator PLTN dan harus disuplai oleh mesin diesel darurat.
Analisis kecelakaan PLTN Fukushima Daichi
Pada lokasi Fukushima Daichi, terdapat 6 unit PLTN. Pada saat terjadinya gempa, unit 1, 2 dan 3 sedang beroperasi sementara unit 4, 5 dan 6 sedang tidak beroperasi karena menjalani maintenance. Unit 1, 2, 3, 4 berada pada satu blok sedangkan unit 5 dan 6 di blok yang lain.
Pada saat terjadi gempa, sistem shutdown pada unit 1, 2 dan 3 bekerja dengan baik dan secara otomatis mematikan reaktor. Hal ini sesuai dengan prosedur.
Setelah reaktor dapat dimatikan, secara otomatis pula mesin diesel darurat bekerja untuk mengambil alih suplai listrik untuk menjalankan fungsi pendinginan teras pasca shutdown. Hal ini pun sesuai dengan prosedur. Pendinginan berlangsung sebagaimana prosedur shutdown normal.
Masalah timbul satu jam kemudian ketika gelombang tsunami datang. Terjangan gelombang tsunami diberitakan membuat mesin diesel mati. Tentang bagaimana mekanisme kegagalan mesin diesel akibat tsunami ini, maka penulis belum mendapatkan data rinci.
Setelah mesin diesel gagal, pompa RCIP yang digerakkan uap dari reaktor difungsikan beberapa saat untuk mensuplai air ke bejana reaktor. Selanjutnya suplai daya listrik dialihkan ke baterai cadangan. Sejauh pengetahuan penulis, daya yang mampu disuplai oleh baterai cadangan tidak sebesar daya yang mampu disuplai oleh mesin diesel. Dengan demikian, pendinginan tidak berlangsung normal.
Selanjutnya, diberitakan bahwa baterai cadangan hanya mampu bertahan selama 7-8 jam. Pada saat gempa, dilaporkan jaringan listrik juga langsung mati, dengan demikian tidak mungkin menggunakan suplai listrik jaringan.
Diberitakan pula bahwa diambil keputusan untuk mendatangkan generator diesel portabel. Akan tetapi sambil menunggu kedatangan generator tersebut, reaktor nuklir sempat beberapa jam tanpa daya listrik untuk menggerakkan sistem pendinginan pasca shutdown.
Konsekuensi kondisi tanpa back up daya listrik
Tanpa daya listrik sistem pendinginan pasca shutdown tidak dapat difungsikan. Pertama, pompa air pendingin untuk kondenser pada kolam supresi tidak dapat difungsikan sehingga uap yang dilepas ke bejana pengungkung tidak dapat diembunkan. Pelepasan uap dari reaktor terus berlangsung sehingga tekanan bejana menjadi naik.
Kedua, tidak ada pengembalian air ke bejana reaktor. Pelepasan uap yang terus berlangsung akan membuat permukaan air dalam bejana semakin menurun. Dengan demikian, bagian atas teras reaktor mulai tidak terendam air. Seharusnya seluruh teras reaktor harus terendam air.
Bejana pengungkung tidak dirancang untuk tekanan sangat tinggi, maka untuk menghindari kerusakan bejana pengungkung, sebagian uap terpaksa dilepaskan (venting). Seharusnya venting ini menuju ke saluran cerobong reaktor. Akan tetapi karena suhu gas yang tinggi, diputuskan untuk melakukan venting ke gedung reaktor.
Selama tidak terjadi kerusakan pada bahan bakar, maka radiasi yang terlepas adalah akibat aktivasi neutron terhadap material-material yang terbawa air pendingin. Aktivitasi radiasi semacam ini semestinya sangat kecil.
Akan tetapi, selama beberapa jam tanpa suplai daya listrik maka bahan bakar mengalami kenaikan suhu karena tidak mendapatkan pendinginan memadai. Di samping itu, sebagai konsekuensi dari venting, maka permukaan air dalam teras menurun sehingga bagian atas bahan bakar tidak terendam air. Kondisi ini akan mempercepat kenaikan suhu bahan bakar.
Pada suhu 700 ºC, kelongsong zirkon alloy mulai berubah fasa sehingga menjadi rapuh dan mudah retak. Jika suhu mencapai 1100 ºC, mulai terjadi reaksi antara zirkon dengan uap air yang menghasilkan gas hidrogen. Dalam kondisi beberapa jam tanpa pendinginan, kondisi-kondisi semacam ini sangat mungkin terjadi. Kedua reaksi atau proses tersebut tidak berlangsung cepat sehingga kerusakan yang terjadi bersifat parsial.
Akumulasi gas hidrogen akan menambah kecepatan peningkatan tekanan. Untuk mencegah kerusakan lebih parah, maka gas hidrogen juga dilepaskan (venting). Venting gas hidrogen diarahkan ke gedung reaktor. Karena gas hidrogen bersuhu cukup tinggi, maka pada saat hidrogen bertemu dengan oksigen di udara akan tersulut sehingga menimbulkan ledakan. Artinya ledakan ini merupakan reaksi kimia antara hidrogen dan oksigen, bukan ledakan nuklir. Hal ini ditandai dengan rendahnya tingkat radiasi yang dilepaskan, sangat berbeda dengan ledakan bom atom Hiroshima dan Nagasaki.
Ledakan kimia hidrogen ini tidak sekuat ledakan uap pada reaktor Chernobyl. Pada reaktor Fukushima hanya melemparkan atap dan dinding gedung sementara kerangka baja gedung masih utuh.
Dengan terjadinya kerusakan parsial pada bahan bakar, yang tidak sampai merusak integritas teras, maka material radioaktif terlepas ke pendingin dan ikut keluar pada saat venting tidaklah banyak. Lepasan radioaktif tidak sebesar pada kecelakaan reaktor nuklir Chernobyl karena kerusakan teras pada reaktor Fukushima adalah kerusakan parsial (sebagian besar teras dalam kondisi utuh) sementara itu kerusakan teras pada reaktor Chernobyl adalah kerusakan total (kerusakan integritas / keutuhan teras).
Seperti telah diuraikan sebelumnya, pembangkitan kalor pasca shutdown terus mengalami penurunan sehingga tingkat keparahan dari kecelakaan reaktor Fukushima dari waktu ke waktu akan mengalami penurunan.
Dampak kecelakaan PLTN Fukushima bagi masa depan industri nuklir
Tidak diingkari bahwa kecelakaan PLTN Fukushima merupakan pukulan bagi industri nuklir. Jerman dilaporkan menghentikan sementara operasi PLTN di negara tersebut untuk dilakukan evaluasi sistem keselamatan setelah mendapatkan protes.
Akan tetapi terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan. Sebagian PLTN yang beroperasi di dunia sekarang pada dasarnya ada dua kelompok berdasarkan generasinya. Kedua kelompok tersebut adalah PLTN lama (generasi 2) dan PLTN baru (generasi 3). Pada kedua kelompok tersebut, jenis reaktor yang dioperasikan sebagian besar adalah PWR, BWR dan PHWR.
Sistem keselamatan pada PLTN-PLTN tersebut sekalipun bervariasi dalam konfigurasinya, memiliki kemiripan, yaitu masih tergantung pada sistem suplai daya cadangan setelah shutdown (yaitu masih tergantung pada mesin diesel darurat). Dengan demikian, kegagalan mesin diesel akan menimbulkan konsekuensi yang mirip dengan PLTN Fukushima Daichi.
Hanya saja PLTN Fukushima merupakan PLTN generasi 2 yang awal (BWR 4), yang dibangun pada tahun 1970. Jenis BWR generasi 2 yang lebih banyak dioperasikan adalah jenis yang lebih baru (BWR 6). Jenis-jenis yang lebih baru, sekalipun masih termasuk generasi 2 telah mengalami perbaikan dibandingkan dengan jenis sebelumnya, diantaranya adalah ukuran pengungkung (containment) yang lebih besar. Sementara itu, di Amerika Serikat, yang juga banyak mengoperasikan PLTN generasi 2, telah diterapkan prosedur safeguard tambahan yang memungkinkan operator mendinginkan teras dalam kondisi tanpa back up daya (berdasarkan sumber dari ANS / American Nuclear Society).
Pada PLTN generasi berikutnya (generasi 3), kehandalan ditingkatkan. Mesin diesel cadangan ditempatkan dalam kompleks bangunan nuklir (nuclear Islands) untuk mendapatkan proteksi sebagaimana komponen nuklir. Hal ini akan mengurangi peluang kegagalan mesin diesel. Untuk jenis BWR, dikenal reaktor jenis ABWR (Advanced Boiling Water Reactor).
PLTN Onagawa yang dibangun setelah tahun 1980-an dan berada lebih dekat dengan episentrum gempa tidak mengalami masalah. Hal ini merupakan bukti bahwa teknologi PLTN telah mengalami penyempurnaan sehingga kelemahan pada desain PLTN generasi sebelumnya dapat diatasi.
[Catatan: tidak semua BWR pasca 80-an adalah ABWR. Lihat tabel terlampir.]
PLTN yang akan dibangun di Indonesia adalah PLTN generasi 3 .
Pada desain reaktor nuklir generasi 3+, pendinginan teras setelah shutdown sepenuhnya menggunakan sirkulasi alam. Untuk jenis BWR, telah dikembangkan SBWR (Simplified Boiling Water Reactor) yang menggunakan sirkulasi alam untuk mensirkulasikan pendingin dalam kondisi operasi normal maupun setelah reaktor dimatikan.
Untuk jenis PWR, telah dikembangkan jenis AP (Advanced Passive). Pendinginan teras dalam kondisi operasi normal masih menggunakan pompa. Akan tetapi pendinginan teras setelah reaktor dimatikan sepenuhnya menggunakan sirkulasi alam.
Dengan demikian, jenis SBWR dan AP tidak memerlukan mesin diesel darurat. Sirkulasi alam merupakan fenomena alam yang secara empirik selalu terjadi. Peluang kegagalan pendinginan dengan demikian menjadi sangat kecil.
Adapun draft PRESS RELEASE adalah sebagai berikut.
ANALISIS KECELAKAAN PLTN FUKUSHIMA DI JEPANG
Oleh
Tim Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Jl. Grafika 2, Yogyakarta 55281
Telp./Fax. : 0274-580882
Pada hari Jumat 11 Maret 2011, telah terjadi gempa dengan skala 8,9 pada skala Richter. Gempa tersebut telah memicu kegagalan sistem pendinginan pada PLTN Fukushima Daichi. Selanjutnya terjadilah peristiwa sebagaimana yang telah kita lihat dari berbagai pemberitaan seperti terjadinya ledakan hingga penyebaran material radioaktif ke lingkungan.
Uraian singkat tentang PLTN Fukushima Daichi
PLTN Fukushima Daichi termasuk PLTN jenis BWR (Boiling Water Reactor). Pada PLTN jenis BWR, teras reaktor langsung digunakan untuk mendidihkan air menjadi uap.
Aspek penting yang perlu dijelaskan secara singkat adalah tentang PLTN tersebut adalah :
- Teras dan bejana reaktor
- Sistem pendinginan pada operasi normal
- Sistem pendinginan pasca shutdown
Bagian utama PLTN adalah teras reaktor yang terletak di dalam bejana reaktor. Teras reaktor merupakan susunan bahan bakar nuklir. Bahan bakar nuklir adalah uranium diperkaya dalam bentuk UO2 keramik. Bahan bakar tersebut berbentuk pelet dan dimasukkan dalam kelongsong zirkonium alloy menjadi batang bahan bakar.
Batang bahan bakar selanjutnya disusun menjadi perangkat bahan bakar. Dan akhirnya perangkat bahan bakar disusun menjadi teras reaktor. Air pendingin dialirkan di sela-sela batang bahan bakar.
Sistem pendinginan pada operasi normal
Secara singkat aliran air adalah sebagai berikut. Air yang telah didemineralisasi dipompakan oleh pompa umpan masuk ke bejana reaktor. Air ini mengambil kalor dari batang-batang bahan bakar nuklir dan berubah menjadi campuran uap dan air.
Pada bagian atas bejana, terdapat pemisah uap. Uap dipisahkan dari air dan air dikembalikan ke bejana dengan menggunakan pompa sirkulasi. Uap air selanjutnya dialirkan ke turbin dan memutar turbin. Turbin dihubungkan dengan generator listrik dan menghasilkan listrik.
Uap setelah keluar dari turbin selanjutnya diembunkan pada kondenser menjadi air. Air ini kemudian dipompakan kembali ke bejana reaktor. Demikian seterusnya sehingga terjadi siklus air dari bejana reaktor, turbin, kondenser, pompa umpan dan kembali ke bejana reaktor.
Pada sistem ini, diperlukan suplai daya listrik untuk menggerakkan pompa umpan, pompa sirkulasi reaktor dan pompa pendingin kondenser. Daya listrik ini diperoleh dari generator PLTN itu sendiri.
Sistem pendinginan pasca shutdown
Setelah reaktor dimatikan, masih terdapat pembangkitan kalor akibat peluruhan radioaktif dari produk fisi. Dibandingkan dengan pembangkitan kalor pada operasi normal, pembangkitan kalor peluruhan ini relatif kecil. Pada beberapa saat setelah shutdown, pembangkitan kalor tersebut sekitar 7 % dari daya normal. Selanjutnya pembangkitan kalor ini terus mengalami penurunan. Sekalipun demikian, tetap diperlukan pendinginan untuk mencegah kerusakan susunan bahan bakar dalam teras akibat overheating.
Catatan: 7% ketika padam, setelah 1 menit turun jadi 3,2%.
PLTN Fukushima Daichi termasuk jenis BWR 3, BWR-4, BWR-5, yang terkategori sebagai PLTN generasi 2 (PLTN yang dibuat sebelum tahun 1980-an). PLTN generasi 2 pada umumnya masih menggunakan sistem keselamatan aktif, yaitu memerlukan sumber tenaga darurat setelah dimatikan.
Setelah reaktor dimatikan, sistem pendinginan normal masih bisa difungsikan selama beberapa saat. Uap yang terbentuk tidak dialirkan ke turbin tetapi langsung ke kondenser untuk diembunkan. Air yang terbentuk dipompakan ke bejana reaktor. Untuk ini, diperlukan suplai listrik untuk menggerakkan pompa air umpan dan pompa pendingin kondenser. Akan tetapi karena turbin tidak bekerja, maka suplai daya listrik ini tidak dapat diambil dari generator PLTN. Dengan demikian harus ada pembangkit listrik yang berupa mesin diesel darurat.
Karena pembangkitan kalor semakin menurun, maka uap yang terbentuk tidak mencukupi untuk penggunaan sistem pendingin normal. Pendinginan selanjutnya diambil alih oleh sistem pendinginan pasca shutdown (setelah pemadaman).
Pada desain BWR-3, BWR-4 dan BWR-5, bejana reaktor berada di dalam pengungkung yang terbuat dari baja dengan dilindungi beton. Di bagian bawah dari bejana pengungkung terdapat kolam supresi tekanan yang tidak lain adalah kondenser. Pada kolam ini, air pendingin harus dapat dialirkan melalui pipa-pipa kondenser di dalam kolam supresi.
Setelah reaktor mati dan pendinginan dengan jalur operasi normal tidak dapat difungsikan, maka digunakan jalur operasi pasca pemadaman. Uap dari bejana reaktor dilepaskan ke pengungkung (dry well), selanjutnya masuk ke kolam supresi. Ketika menyentuh pipa-pipa kondenser kolam supresi, uap ini akan mengembun dan menjadi air. Air selanjutnya dipompakan kembali ke bejana reaktor.
Demikian seterusnya sehingga kalor dari teras reaktor dapat dibuang melalui kondenser pada kolam supresi untuk jangka waktu cukup lama hingga pembangkitan kalor menjadi cukup kecil untuk mampu merusak teras. Selama sistem pendinginan pasca shutdown ini berjalan normal, maka tidak akan terjadi overheating dan susunan bahan bakar tidak mengalami kerusakan.
Akan tetapi sistem pendingin pasca shutdown ini memerlukan suplai daya listrik untuk menggerakkan pompa sirkulasi pendingin dan pompa pendinginan kondenser kolam supresi.
Dan juga karena turbin tidak bekerja, maka suplai daya listrik ini tidak dapat diambil dari generator PLTN dan harus disuplai oleh mesin diesel darurat.
Analisis kecelakaan PLTN Fukushima Daichi
Pada lokasi Fukushima Daichi, terdapat 6 unit PLTN. Pada saat terjadinya gempa, unit 1, 2 dan 3 sedang beroperasi sementara unit 4, 5 dan 6 sedang tidak beroperasi karena menjalani maintenance. Unit 1, 2, 3, 4 berada pada satu blok sedangkan unit 5 dan 6 di blok yang lain.
Pada saat terjadi gempa, sistem shutdown pada unit 1, 2 dan 3 bekerja dengan baik dan secara otomatis mematikan reaktor. Hal ini sesuai dengan prosedur.
Setelah reaktor dapat dimatikan, secara otomatis pula mesin diesel darurat bekerja untuk mengambil alih suplai listrik untuk menjalankan fungsi pendinginan teras pasca shutdown. Hal ini pun sesuai dengan prosedur. Pendinginan berlangsung sebagaimana prosedur shutdown normal.
Masalah timbul satu jam kemudian ketika gelombang tsunami datang. Terjangan gelombang tsunami diberitakan membuat mesin diesel mati. Tentang bagaimana mekanisme kegagalan mesin diesel akibat tsunami ini, maka penulis belum mendapatkan data rinci.
Setelah mesin diesel gagal, pompa RCIP yang digerakkan uap dari reaktor difungsikan beberapa saat untuk mensuplai air ke bejana reaktor. Selanjutnya suplai daya listrik dialihkan ke baterai cadangan. Sejauh pengetahuan penulis, daya yang mampu disuplai oleh baterai cadangan tidak sebesar daya yang mampu disuplai oleh mesin diesel. Dengan demikian, pendinginan tidak berlangsung normal.
Selanjutnya, diberitakan bahwa baterai cadangan hanya mampu bertahan selama 7-8 jam. Pada saat gempa, dilaporkan jaringan listrik juga langsung mati, dengan demikian tidak mungkin menggunakan suplai listrik jaringan.
Diberitakan pula bahwa diambil keputusan untuk mendatangkan generator diesel portabel. Akan tetapi sambil menunggu kedatangan generator tersebut, reaktor nuklir sempat beberapa jam tanpa daya listrik untuk menggerakkan sistem pendinginan pasca shutdown.
Konsekuensi kondisi tanpa back up daya listrik
Tanpa daya listrik sistem pendinginan pasca shutdown tidak dapat difungsikan. Pertama, pompa air pendingin untuk kondenser pada kolam supresi tidak dapat difungsikan sehingga uap yang dilepas ke bejana pengungkung tidak dapat diembunkan. Pelepasan uap dari reaktor terus berlangsung sehingga tekanan bejana menjadi naik.
Kedua, tidak ada pengembalian air ke bejana reaktor. Pelepasan uap yang terus berlangsung akan membuat permukaan air dalam bejana semakin menurun. Dengan demikian, bagian atas teras reaktor mulai tidak terendam air. Seharusnya seluruh teras reaktor harus terendam air.
Bejana pengungkung tidak dirancang untuk tekanan sangat tinggi, maka untuk menghindari kerusakan bejana pengungkung, sebagian uap terpaksa dilepaskan (venting). Seharusnya venting ini menuju ke saluran cerobong reaktor. Akan tetapi karena suhu gas yang tinggi, diputuskan untuk melakukan venting ke gedung reaktor.
Selama tidak terjadi kerusakan pada bahan bakar, maka radiasi yang terlepas adalah akibat aktivasi neutron terhadap material-material yang terbawa air pendingin. Aktivitasi radiasi semacam ini semestinya sangat kecil.
Akan tetapi, selama beberapa jam tanpa suplai daya listrik maka bahan bakar mengalami kenaikan suhu karena tidak mendapatkan pendinginan memadai. Di samping itu, sebagai konsekuensi dari venting, maka permukaan air dalam teras menurun sehingga bagian atas bahan bakar tidak terendam air. Kondisi ini akan mempercepat kenaikan suhu bahan bakar.
Pada suhu 700 ºC, kelongsong zirkon alloy mulai berubah fasa sehingga menjadi rapuh dan mudah retak. Jika suhu mencapai 1100 ºC, mulai terjadi reaksi antara zirkon dengan uap air yang menghasilkan gas hidrogen. Dalam kondisi beberapa jam tanpa pendinginan, kondisi-kondisi semacam ini sangat mungkin terjadi. Kedua reaksi atau proses tersebut tidak berlangsung cepat sehingga kerusakan yang terjadi bersifat parsial.
Akumulasi gas hidrogen akan menambah kecepatan peningkatan tekanan. Untuk mencegah kerusakan lebih parah, maka gas hidrogen juga dilepaskan (venting). Venting gas hidrogen diarahkan ke gedung reaktor. Karena gas hidrogen bersuhu cukup tinggi, maka pada saat hidrogen bertemu dengan oksigen di udara akan tersulut sehingga menimbulkan ledakan. Artinya ledakan ini merupakan reaksi kimia antara hidrogen dan oksigen, bukan ledakan nuklir. Hal ini ditandai dengan rendahnya tingkat radiasi yang dilepaskan, sangat berbeda dengan ledakan bom atom Hiroshima dan Nagasaki.
Ledakan kimia hidrogen ini tidak sekuat ledakan uap pada reaktor Chernobyl. Pada reaktor Fukushima hanya melemparkan atap dan dinding gedung sementara kerangka baja gedung masih utuh.
Dengan terjadinya kerusakan parsial pada bahan bakar, yang tidak sampai merusak integritas teras, maka material radioaktif terlepas ke pendingin dan ikut keluar pada saat venting tidaklah banyak. Lepasan radioaktif tidak sebesar pada kecelakaan reaktor nuklir Chernobyl karena kerusakan teras pada reaktor Fukushima adalah kerusakan parsial (sebagian besar teras dalam kondisi utuh) sementara itu kerusakan teras pada reaktor Chernobyl adalah kerusakan total (kerusakan integritas / keutuhan teras).
Seperti telah diuraikan sebelumnya, pembangkitan kalor pasca shutdown terus mengalami penurunan sehingga tingkat keparahan dari kecelakaan reaktor Fukushima dari waktu ke waktu akan mengalami penurunan.
Dampak kecelakaan PLTN Fukushima bagi masa depan industri nuklir
Tidak diingkari bahwa kecelakaan PLTN Fukushima merupakan pukulan bagi industri nuklir. Jerman dilaporkan menghentikan sementara operasi PLTN di negara tersebut untuk dilakukan evaluasi sistem keselamatan setelah mendapatkan protes.
Akan tetapi terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan. Sebagian PLTN yang beroperasi di dunia sekarang pada dasarnya ada dua kelompok berdasarkan generasinya. Kedua kelompok tersebut adalah PLTN lama (generasi 2) dan PLTN baru (generasi 3). Pada kedua kelompok tersebut, jenis reaktor yang dioperasikan sebagian besar adalah PWR, BWR dan PHWR.
Sistem keselamatan pada PLTN-PLTN tersebut sekalipun bervariasi dalam konfigurasinya, memiliki kemiripan, yaitu masih tergantung pada sistem suplai daya cadangan setelah shutdown (yaitu masih tergantung pada mesin diesel darurat). Dengan demikian, kegagalan mesin diesel akan menimbulkan konsekuensi yang mirip dengan PLTN Fukushima Daichi.
Hanya saja PLTN Fukushima merupakan PLTN generasi 2 yang awal (BWR 4), yang dibangun pada tahun 1970. Jenis BWR generasi 2 yang lebih banyak dioperasikan adalah jenis yang lebih baru (BWR 6). Jenis-jenis yang lebih baru, sekalipun masih termasuk generasi 2 telah mengalami perbaikan dibandingkan dengan jenis sebelumnya, diantaranya adalah ukuran pengungkung (containment) yang lebih besar. Sementara itu, di Amerika Serikat, yang juga banyak mengoperasikan PLTN generasi 2, telah diterapkan prosedur safeguard tambahan yang memungkinkan operator mendinginkan teras dalam kondisi tanpa back up daya (berdasarkan sumber dari ANS / American Nuclear Society).
Pada PLTN generasi berikutnya (generasi 3), kehandalan ditingkatkan. Mesin diesel cadangan ditempatkan dalam kompleks bangunan nuklir (nuclear Islands) untuk mendapatkan proteksi sebagaimana komponen nuklir. Hal ini akan mengurangi peluang kegagalan mesin diesel. Untuk jenis BWR, dikenal reaktor jenis ABWR (Advanced Boiling Water Reactor).
PLTN Onagawa yang dibangun setelah tahun 1980-an dan berada lebih dekat dengan episentrum gempa tidak mengalami masalah. Hal ini merupakan bukti bahwa teknologi PLTN telah mengalami penyempurnaan sehingga kelemahan pada desain PLTN generasi sebelumnya dapat diatasi.
[Catatan: tidak semua BWR pasca 80-an adalah ABWR. Lihat tabel terlampir.]
PLTN yang akan dibangun di Indonesia adalah PLTN generasi 3 .
Desain reaktor nuklir berikutnya
Desain reaktor nuklir berikutnya lebih dikenal generasi 3+. Sistem keselamatan pada desain reaktor generasi 3+ dirancang untuk tidak lagi tergantung pada suplai daya listrik cadangan. Dengan demikian, desain reaktor nuklir generasi tidak memerlukan mesin diesel cadangan.Pada desain reaktor nuklir generasi 3+, pendinginan teras setelah shutdown sepenuhnya menggunakan sirkulasi alam. Untuk jenis BWR, telah dikembangkan SBWR (Simplified Boiling Water Reactor) yang menggunakan sirkulasi alam untuk mensirkulasikan pendingin dalam kondisi operasi normal maupun setelah reaktor dimatikan.
Untuk jenis PWR, telah dikembangkan jenis AP (Advanced Passive). Pendinginan teras dalam kondisi operasi normal masih menggunakan pompa. Akan tetapi pendinginan teras setelah reaktor dimatikan sepenuhnya menggunakan sirkulasi alam.
Dengan demikian, jenis SBWR dan AP tidak memerlukan mesin diesel darurat. Sirkulasi alam merupakan fenomena alam yang secara empirik selalu terjadi. Peluang kegagalan pendinginan dengan demikian menjadi sangat kecil.