JANJI mewujudkan kesejahteraan rakyat selalu digemakan setiap rezim di negeri ini. Bahkan, umur janji itu sudah setua usia Republik.
Namun, faktanya, jalan menuju kesejahteraan bukannya kian mulus, malah makin terjal. Jika di awal negara ini berdiri banyak warga makan tiwul karena tidak sanggup membeli beras, kini fakta serupa masih juga terjadi.
Jumlah penduduk miskin pun hingga kini masih sangat banyak. Menurut ukuran pemerintah sekitar 30 juta orang. Bila angka kemiskinan memakai ukuran Bank Dunia, jumlahnya menjadi tiga kali lebih besar, yaitu sekitar 100 juta jiwa.
Di atas kertas, ekonomi memang tumbuh. Namun, di alam nyata, pertumbuhan nyaris tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan.
Tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat tidak berubah signifikan. Hal itu tecermin dari rasio Gini, sebuah rasio yang mengukur ketimpangan pendapatan penduduk secara menyeluruh.
Data Indef menunjukkan dalam lima tahun terakhir rasio Gini hanya turun 0,012, dari 0,343 pada 2005 menjadi 0,331 pada 2010. Rasio Gini membentang dari 0 sampai 1. Nol menunjukkan pemerataan, sedangkan 1 melambangkan ketimpangan.
Kini, di tengah kian menjauhnya jalan menuju kesejahteraan, rakyat bawah yang jumlahnya mayoritas malah diimpit beban yang semakin berat akibat kenaikan harga pangan dan komoditas lainnya. Harga beras masih bertengger di Rp7.400-an, jauh di atas harga normal yang sekitar Rp5.000.
Harga cabai, pekan lalu, masih sekitar Rp45 ribu per kilogram. Hanya dalam dua pekan harga cabai terkerek hingga 40% karena dua minggu sebelumnya masih di kisaran Rp32 ribu. Bahkan, harganya pernah mencapai Rp100 ribu per kilogram.
Sepanjang 2010, harga beras naik rata-rata 18%. Kenaikan itu dua kali lipat jika dibandingkan dengan rata-rata kenaikan pada 2009 yang mencapai 9%.
Impitan hidup bakal bertambah jika kalangan industri benar-benar merealisasikan ancaman mereka untuk mem-PHK buruh. Ancaman yang sulit dihindari karena beban usaha juga kian berat akibat naiknya tarif listrik untuk industri dan pemberlakuan bea masuk barang impor untuk bahan baku.
Karena itu, tidak mengherankan jika frustrasi sosial meningkat. Ada pasangan suami-istri bunuh diri dengan meninggalkan empat anak mereka karena sudah tidak sanggup lagi menahan beban ekonomi.
Banyak yang mengganti beras dengan tiwul dan makanan lainnya yang kurang memenuhi standar gizi, asal perut sedikit terganjal.
Itulah fakta yang tidak boleh ditutup-tutupi. Negara juga jangan cuma terus memproduksi harapan semu dengan menyebut pendapatan per kapita rakyat kita sudah menuju US$3.000 atau sekitar Rp27 juta per tahun. Namun, sudahkah pemerintah melihat dan mendengar dengan betul, berapa banyak rakyat kita yang berpenghasilan sebesar itu?
Negara tidak boleh absen mengurus rakyat. Agar janji kesejahteraan makin mendekati bukti. Agar tidak terjadi pecah kongsi antara janji dan realisasi.
Namun, faktanya, jalan menuju kesejahteraan bukannya kian mulus, malah makin terjal. Jika di awal negara ini berdiri banyak warga makan tiwul karena tidak sanggup membeli beras, kini fakta serupa masih juga terjadi.
Jumlah penduduk miskin pun hingga kini masih sangat banyak. Menurut ukuran pemerintah sekitar 30 juta orang. Bila angka kemiskinan memakai ukuran Bank Dunia, jumlahnya menjadi tiga kali lebih besar, yaitu sekitar 100 juta jiwa.
Di atas kertas, ekonomi memang tumbuh. Namun, di alam nyata, pertumbuhan nyaris tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan.
Tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat tidak berubah signifikan. Hal itu tecermin dari rasio Gini, sebuah rasio yang mengukur ketimpangan pendapatan penduduk secara menyeluruh.
Data Indef menunjukkan dalam lima tahun terakhir rasio Gini hanya turun 0,012, dari 0,343 pada 2005 menjadi 0,331 pada 2010. Rasio Gini membentang dari 0 sampai 1. Nol menunjukkan pemerataan, sedangkan 1 melambangkan ketimpangan.
Kini, di tengah kian menjauhnya jalan menuju kesejahteraan, rakyat bawah yang jumlahnya mayoritas malah diimpit beban yang semakin berat akibat kenaikan harga pangan dan komoditas lainnya. Harga beras masih bertengger di Rp7.400-an, jauh di atas harga normal yang sekitar Rp5.000.
Harga cabai, pekan lalu, masih sekitar Rp45 ribu per kilogram. Hanya dalam dua pekan harga cabai terkerek hingga 40% karena dua minggu sebelumnya masih di kisaran Rp32 ribu. Bahkan, harganya pernah mencapai Rp100 ribu per kilogram.
Sepanjang 2010, harga beras naik rata-rata 18%. Kenaikan itu dua kali lipat jika dibandingkan dengan rata-rata kenaikan pada 2009 yang mencapai 9%.
Impitan hidup bakal bertambah jika kalangan industri benar-benar merealisasikan ancaman mereka untuk mem-PHK buruh. Ancaman yang sulit dihindari karena beban usaha juga kian berat akibat naiknya tarif listrik untuk industri dan pemberlakuan bea masuk barang impor untuk bahan baku.
Karena itu, tidak mengherankan jika frustrasi sosial meningkat. Ada pasangan suami-istri bunuh diri dengan meninggalkan empat anak mereka karena sudah tidak sanggup lagi menahan beban ekonomi.
Banyak yang mengganti beras dengan tiwul dan makanan lainnya yang kurang memenuhi standar gizi, asal perut sedikit terganjal.
Itulah fakta yang tidak boleh ditutup-tutupi. Negara juga jangan cuma terus memproduksi harapan semu dengan menyebut pendapatan per kapita rakyat kita sudah menuju US$3.000 atau sekitar Rp27 juta per tahun. Namun, sudahkah pemerintah melihat dan mendengar dengan betul, berapa banyak rakyat kita yang berpenghasilan sebesar itu?
Negara tidak boleh absen mengurus rakyat. Agar janji kesejahteraan makin mendekati bukti. Agar tidak terjadi pecah kongsi antara janji dan realisasi.
Source : Editorial MI (17 Januari 2011)
No comments:
Post a Comment